BAB I MAKALAH HUKUM DIPLOMATIK INTERNASIONAL
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1.
LATAR
BELAKANG MASALAH
Hubungan
Diplomatik merupakan hubungan yang dijalankan antara Negara satu dengan lainnya
untuk saling memenuhi kebutuhan
masing-masing Negara, hal ini sudah dilakukan sejak berabad-abad yang lalu.
Untuk dapat menjalankan hubungan diplomatic dengan Negara lain perlu adanya
pengakuan (recognitif) terlebih dahulu
terhadap Negara tersebut, terutama oleh Negara yang akan menerima perwakilan
suatu Negara tersebut, maka pembukaan hubungan dan perwakilan diplomatic tidak
bisa dilakukan. Misalnnya Indonesia tidak bisa membuka perutusan diplomatiknya
ke Israel kerena belum mengakui Israel sebagai sebuah Negara. [1]
Pada awalnya,
pelaksanaan hubungan diplomatic itu sendiri hanya dilaksanakan berdasarkan
kebiasaan internasional yang ada diantara masyarakat-masyarakat internasional
dahulu kala. setelah mengalami perkembangan, pada akhirnya Negara-negara
kemudian mengkodifikasikan kebiasaan-kebiasaan Internasional yang berkaitan
dengan perwakilan diplomatik asing yang di anggap penting pelaksanaannya
kedalam Vienna Convention on Diplomatic Relations, 1961, yang kemudian diusul
dengan pembentukan Vienna Convention on Consular Relations, 1963 , beserta
protocol tambahannya masing-masing.
Di dalam
prakteknya untuk menjalankan hubungan diplomatic diperlukan adanya perwakilan
diplomatic dari tiap-tiap Negara. perwakilan-perwakilan tersebut akan dipilih
oleh Negara yang mengutusnya dan akan menjalankan diplomasi sebagai salah satu
cara komunikasi yang biasanya dilakukan antara berbagai pihak termasuk
negosiasi antara wakil-wakil yang sudah diakui. [2]
Jika suatu
Negara sudah menyetujui pembukaan hubungan diplomatic dengan Negara lain
melalui suatu instrument atas dasar timbal balik dan asas saling menyetujui
Negara-negara tersebut sudah harus memikirkan pembukaan suatu perwakilan
diplomatic dan penyusunan keanggotaan perwakilan tersebut baik dalam
tingkatannya maupun jumlah anggota staf perwakilan yang telah disetujui bersama
atas dasar kewajaran dan kepantasan. [3]
setelah adanya
kesepakatan antara Negara pengirim dengan Negara penerima, kedepannya para
wakil yang menjadi pejabat diplomatic, termasuk juga pejabat konsuler diberikan
hak kekebalan dan keistimewaan untuk dapat menjalankan tugas atau misinya
dengan baik dan tidak menghadapi halangan seperti adanya pencegahan masuknya
pejabat-pejabat dari Negara penerima ke dalam gedung diplomatic, kecuali
disetujui oleh Kepala misi, kerena dapat dianggap mencampuri urusan Negara
pengirim begitu pula sebaliknya[4] ,
selain itu Negara penerima harus menyediakan sarana yang pantas kepada
perwakilan diplomatic asing dinegaranya, kemudian mengijinkan dan melindungi
kemerdekaan berkomunikasi pada pihak perwakilan diplomatic asing tersebut agar
tidak ada hambatan untuk berkomunikasi dengan pemerintah Negara pengirimnya
untuk melaksanakan fungsi-fungsinya[5].
1.2.
RUMUSAN
MASALAH
Berdasarkan Latar Belakang Masalah
diatas maka dapat dirumuskan permasalahannya ialah :
1.
Apakah
Yang dimaksud dengan Hubungan Diplomatik Internasional
2.
Bagaimana Pelaksanaan Hukum Diplomatik
Internasional
3.
Bagaimana
Pembuakaan
dan Pemutusan Hubungan Diplomatik
4.
Bagaimana
Kekebalan dan keistimewaan Hukum Diplomatik
1.3.
MAKSUD DAN TUJUAN
Berdasarkan rumusan masalah diatas,
maka dapat dirumuskan beberapa maksud dan tujuan sebagai berikut :
1.
Menjelaskan
Apakah Yang dimaksud dengan Hubungan Diplomatik Internasional ?
2.
Menjelaskan Bagaimana Pelaksanaan Hukum
Diplomatik Internasional ?
3.
Menjelaskan
Bagaimana Pembuakaan dan Pemutusan Hubungan Diplomatik ?
4.
Menjelaskan
Bagaimana Kekebalan dan keistimewaan Hukum Diplomatik ?
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian
Hukum Diplomatik
Mengenai pengertian
Hukum Diplomatik masih belum berkembang. Para sarjana Hukum Internasional masih
belum banyak menuliskan secara khusus, karena pada hakekatnya Hukum Diplomatik
merupakan bagian dari Hukum Internasional yang sebagian dari sumber hukumnya
sama dengan sumber hukum Internasional seperti konvensi-konvensi internasional
yang ada. Namun yang ditulis oleh Ellen Denza[6]
mengenai “Diplomatik Law” pada hakekatnya hanya menyangkut komentar mengenai
Konvensi Wina mengenai Hubungan Diplomatik. Banyak para penulis hanya
memberikan batasan dan arti “diplomasi” sendiri, walaupun diantara mereka masih
belum ada keseragaman. Adapula pemakaian perkataan “diplomasi” itu secara
berbeda-beda menurut penggunaannya, yang meliputi:
1.
Ada yang menyamakan kata itu dengan
“politik luar negeri”, misalnya jika dikatakan “Diplomasi” RI di Afrika perlu
ditingkatkan”.
2.
Diplomasi dapat juga diartikan dengan
“perundingan”, seperti sering dinamakan bahwa “masalah Timur Tengah hanya dapat
diselesaikan melalui Diplomasi”. Jadi perkataan diplomasi disini merupakan
satu-satunya mekanisme, yaitu melalui perundingan.
3.
Diplomasi dapat juga diartikan sebagai
“dinas luar negeri”, seperti ungkapan “selama ini ia bekerja untuk diplomasi”.
4.
Diplomasi juga diartikan secara kiasan
seperti dalam ungkapan: “ia pandai berdiplomasi” yang berarti “bersilat lidah”.
untuk
memahami pengertian “Hukum Diplomatik” memang tepat sekali jika membahas
pengertian “diplomasi” itu sendiri seperti yang diberikan oleh Satow, Quency
Wright dan Harold Nicholson.
Dalam
“Random House Dictionary” diplomasi diartikan sebagai “the conduct by
Government officials of negotiations and other relations between nations ;the
art of science of conducting such negotiations ; skill in managing
negotiations, handling of people so that there is little or no ill- will tact” [7].
Dengan
adanya berbagai batasan tersebut, arti diplomasi yang disebutkan dalam “Oxford English
Dictionary” menurut Harold Nicholson adalah
paling tepat dan luas yaitu :
1.
The
management of internal relation by means of negotiation.[8]
2.
The method by which these relations are
adjusted and managed by ambassadors and envoys;
3.
The business or art of the diplomatist;
4.
Skill or address in the conduct of
international intercourse and negotiations.
telah
diberikan oleh Brownlie [9]
Menurut Osmanczyk : [10]
“Hukum
Diplomatik merupakan cabang dari hukum kebiasaan Internasional yang terdiri
dari seperangkat aturan-aturan dan norma-norma hukum yang menetapkan kedudukan
dan fungsi para diplomat, termasuk bentuk-bentuk organisasional dari dinas
diplomatic “
Dengan demikian
pengertian Hukum Diplomatik pada hakikatnya merupakan ketentuan atau
prinsip-prinsip Hukum Internasional yang mengatur hubungan diplomatik antar
Negara yang dilakukan atas dasar permufakatan bersama dan hukum sebagai hasil
dari kodifikasi hukum kebiasaan internasional dan pengembangan kemajuan Hukum
Internasional.
2.2
Sejarah
Perkembangan Hukum Diplomatik
Pesatnya
perkembangan teknologi KIE (komunikasi,Informasi,dan Edukasi) dewasa ini, telah
memacu semakin intensifnya interaksi antar Negara dan antarbangsa di dunia.
Meningkatnya intesitas interaksi tersebut telah memengaruhi kegiatan
ekonomi,politik,social,dan budaya kita dengan pihak luar,baik itu dilakukan
oleh pemerintah (pusat dan daerah). Organisasi nonpemerintah (Ornop dalam
negeri dan NGO’s luar negeri), swasta (perusahaan-perusahaan multinasional),
dan perorangan sebagai actor baru dalam hubungan luar negeri. Kenyatan ini
menurut tersedianya suatu perangkat ketentuan untuk mengatur interaksi tersebut
selain ditujukan untuk melindungi kepentingan Negara dan narga negaranya, serta
pada gilirannya memperkokoh Negara kesatuan republik Indonesia.
Sejarah
telah mencatat dan membuktikan bahwa jauh sebelum bangsa bangsa di dunia
mengenal dan menjalankan praktik hubungan diplomatic, misi diplomatic secara
tetap seperti yang ada dewasa ini,di zaman india kuno telah dikenal
ketentuan-ketentuan atau kaidah-kaidah yang mengatur hubungan antarraja ataupun
kerajaan, di mana hukum bangsa-bangsa pada waktu itu telah menganal pula apa
yang dinamakan duta.[11] pengiriman
duta duta ke luar negeri sudah dikenal dan dipraktikkan oleh Indonesia, dan
Negara-negara Asia serta Arab sebelum Negara-negara Barat mengenalnya. Di benua
Eropa, pada abad ke-16 masalah pengiriman duta-duta itu diatur menurut hukum
kebiasaan, tetapi hukum kebiasaan internasional menyangkut masalah itu menjadi
jelas pada abad ke-19, di mana pengaturan hubungan diplomatik dan perwakilan
dimplomatik dimulai dibicarakan pada Kongres Wina 1815, yang diubah dan
disempurnakan oleh protocol
Aix-La-Chaoelle 1818. Kongres Wina tersebut pada hakikatnya merupakan
tonggak sejarah diplomasi modern karena telah berhasil mengatur dan membuat
prinsip-prinsip secara sistematis, termasuk kalsifikasi jabatan kepala
perwakilan diplomatik dan mengatur prosedur dan mekanisme hubungan diplomatik.
Dengan demikian sampai dengan 1815
ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan hubungan diplomatic sebagian besar
bersumber dari hukum kebiasaan.
kongres 1815, raja-raja yang ikut dalam
konferensi itu sepakat untuk mengodifikasikan hukum kebiasaan tersebut menjadi
hukum tertulis. Namun, tidak banyak yang telah dicapai, dam mereka hanya
menghasilkan satu naskah,yaitu hierarki diplomat (klasifikasi jabatan kepala
perwakilab diplomatik) [12]yang
kemudian dilengkapi pula dengan Protokol Aix-La-Chapelle tanggal 21 November
1818. Sebenarnya kongres Wina ini dilihat dari substansi, praktis tidak
menambah apa-apa terhadap praktik yang sudah ada sebelumnya, yang jelas hanya
sebagai uapaya positif mengkodifikasikan praktik-praktik Negara-negara dalam bidang hubungan
diplomatic itu menjadi hukum tertulis,
sehingga lebih terjamin kepastiannya.
Pada
tahun 1972, dalam kerangka liga bangsa-bangsa, diupayakan kembali kodifikasi
yang sesungguhnya. Namun, hasil-hasil yang dicapai komisi ahli ditolak olehh
dewan LBB. Alasannya yaitu, belum waktunya untuk merumuskan kesepakatan umum
mengenai hak-hak istimewa dan kekebalan diplomatic yang cukup kompleks. Karena
itu memutuskan untuk tidak memasukkan masalah tersebut dalam agenda Konferensi
Den Haag yang diseleggarakan pada 1930
untuk kodifikasi hukum internasional. Di samping itu, di Havana pada 1928
Konferensi ke-6 Organisasi Negara-negara Amerika (OAS) menerima konvensi dengan
nama Convention on Diplomatic Officers.
Konvensi ini diratifikasi oleh dua belas Negara Amerika, kecuali Amerika
Serikat yang hanya menandatangani, tidak meratifikasi karena menolak
ketentuan-ketentuan yang menyetujui pemberian suara politik. Mengingat sifatnya
yang regional, implementasi konvensi ini tidak menyeluruh.[13]
Pada
tahun 1947, Komisi Hukum Internasional yang dibentuk oleh Majelis Umum PBB atas amanat Pasal 13 Piagam PBB [14]yang
berbunyi sebagai berikut.
1. Majelis
Umum akan mengadakan penyelidikan dan mengajukan usulan-usulan
(recommendations) dengan tujuan :
a. Memajukan
kerja sama internasional di bidang politik dan mendorong peningkatan dan
pengembangan hukum internasional secara progresif dan pebgodifikasiannya;
b. Memajukan
kerja sama internasional di bidang ekonomi,social,kebudayaan,pendidikan,dan
bidangh-bidang kesehatan, dan membantu meningkatkan pemahaman atas hak-hak asasi manusia dan kebebasan dasar
bagi semua umat manusia tanpa mebeda-bedakan bangsa,ras,jenis
kelamin,bahasa,ataupun agama.”
Komisi
Hukum Internasional tersebut menetapkan empat belas topic pembahasan yang di
dalamnya juga termasuk topic hubungan diplomatic, terutama mengebai kekebalan
dan keistimewaan diplomatik. Namun pembahasan mengenai hubungan diplomatic
tidak mendapatkan prioritas. Selanjutnya, karena seringnya terjadi insiden
diplomatic sebagai akibat Perang Dingin dan dilanggarnya ketentuan-ketentuan
tentang hubungan diplomatik, maka ayas usul delegasi Yugoslavia, Majelis Umum
PBB Pada memberikan prioritas untuk melakukan kodifikasi mengenai hubungan dan
kekebalan diplomatic.
Pada
tahun 1954, komisi mulai membahas masalah-masalah hubungan dan kekebalan
diplomatic, dan sebelum akhir 1959 Majelis Umum melalui Resolusi 1450 (XIV)
memutuskan untuk menyelenggaran suatu Konferensi Internasional guna membahas
masalah-masalah seputar hubungan dan hak-hak kekebalan dan keistimewaan
diplomatik. Konferensi tersebut dinamakan “the
United Nations Conference on Diplomatic Intercourse and Immunities”, mengadakan
sidangnya di Wina pada 2 Maret-14 April 1961. Kota Wina dipilih dengan
pertimbangan historis karena kongres pertama mengenai hubungan diplomatik
diselenggarakan di kota tersebut pada 1815. Konferensi menghasilkan instrument-intrumen, yaitu : Vienna Convention on Diplomatic Relations,
Optional Protocol Concerning Acquisition of Nationality, dan Optional Protocol
Concerning the Compulsory Settelment of Disputes. Diantara ketiga
instrument tersebut konvensi Wina tentang hungan Diplomatik (Convention on
Diplomatic Relations), 18 April 1961 merupakan yang terpenting.
Konvensi
Wina 1961 diterima oleh 72 Negara, tidak ada yang menolak dan hanya satu Negara
abstain. Pada 18 April 1961, wakil dari 75 Negara menandatangani konvensi
tersebut, yang terdiri dari mukadimah, 53 pasal, dan 2 protokol. Tiga tahun
kemudian pada 24 April 1964, konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik ini
dinyatakan mulai berlaku. Kini, hamper seluruh Negara di dunia telah
meratifikasi konvensi tersebut, termasuk Indonesia yang meratifikasinya dengan
UU No.1 Tahun 1982 pada 25 Januari 1982.
Pentingnya prinsip-prinsip yang tercantum dalam Konvensi Wina tersebut
digarisbawahi oleh Mahkamah Internasional dalam kasus United States Diplomatic and Counsular Staff in Teheran melalui
Ordonasinya tertanggal 15 Desember 1979,dan pendapat hukumnya (advisory opinion) tertanggal 24 Mei
1980. Konferensi Wina ini sungguh merupakan kode diplomatik yang sebenarnya.
Walaupun hukum kebiaasaan dalam konvensi ini tetap berlaku seperti tersebut
dalam alinie terakhir mukadimahnya, tetapi peranannya hanya sebagai tambahan.
Sehubungan
dengan itu, perlu diingat bahwa untuk pertama kalinya ada usaha guna mengadakan
kodifikasi peraturan-peraturan tentang lembaga konsul, telaj dilakukan dalam
Konferensi Negara-Negara Amerika tahun 1928 di Hanava-Cuba, di mana dalam tahun
itu juga telah disetujui Convention on Consular Agents( Konvensi mengenai
pejabat konsuler). Sesudah itu dirasakan belum ada usaha yang cukup serius
untuk mengadakan kodifikasi lebih lanjut tentang peraturan-peraturan tentang
hubungan konsuler, kecuali setelah Majelis PBB meminta kepada Komisi Hukum
Internasional untuk melakukan kodifikasi mengenai hubungan konsuler.[15]
Pembahasan
masalah hubungan konsuler itu dalam Komisi Hukum Internasional telah dimulai
sejak 1955, yaitu dengan menunjuk Mr. Zourek sebagai Rapporteur Khususu.
Rencana terakhir konvensi mengenai hubungan konsuler telah diajukan kepada
Majelis Umum PBB pada 1961. Dengan Resolusi 1685(XVI), Majelis Umum PBB telah
menyetujui rancangan yang diusulkan dan memutuskan untuk menyelenggarakan suatu
konferensi diplomatik, dan menyetujuinya pada awal 1963. Wakil dari 95 Negara
telah berkumpul di ibukota Austria (kota Wina) sejak tanggal 4 Maret s/d 22
April 1963, dan pada 18 April 1963 konferensi teleh menyetujui draft articles
final konvensi mengenai hubungan Konsuler, termasuk kedua protocol pilihan
sebagaimana juga yang terjadi pada Konvensi Wina mengenai Hubungan Diplomatik.[16]
Berbagai persoalan yang menyangkut konsul termasuk peranannya telah dirumuskan dalam konvensi secara teliti
dan rinci, bahkan dianggap lebih panjang dibandingkan dengan Konvensi Wina
1961. Akta finalnya telah ditandatangani pada 24 April 1963, dan dinyatakan
berlaku pada tanggal 19 Maret 1967. Ada 117 negara yang sudah meratifikasi dan
aksesi. Empat puluh diantaranya telah menjadi pihak dalam Protokol pilihan
tentang kewajiban untuk menyelesaikan sengketa. [17]
Konvensi
Wina 19863 mengenai Hubungan Konsuler terdiri dari 79 pasal dan digolongkan
dalam lima bab, yaitu :
-
Bab Pertama (Pasal 2 – Pasal 27) antara
lain mengenai cara-cara dalam mengadakan hubungan konsuler, termasuk
tugas-tugas konsul;
-
Bab Kedua (Pasal 28 – Pasal 57) mengenai
kekebalan dan keistimewaan yang diberikan bukan saja kepada perwakilan
konsulernya, tetapi juga kepada para pejabat konsuler karier serta para anggota
perwakilan konsuler lainnya;
-
Bab Ketiga (Pasal 58 - Pasal 67) Khsusus
menyangkut ketentuan-ketentuan mengenai lembaga Konsul Kehormatan, termasuk kantornya. Ketentuan-ketentuan dalam
bab ketiga ini juga membuat tentang kekebalan dan keistimewaan yang diberikan kepada
Konsul Kehormatan dan Kantornya;
-
Bab
Keempat (Pasal 68 – Pasal 73) berisi ketentuan-ketentuan umum, antara lain
mengenai pelaksanaan tugas-tugas konsuler oleh perwakilan diplomatik, hubungan
konvensi ini dengan persetujuan internasional lainnya dan lain sebagainya
-
Bab
Kelima mengenai ketentuan-ketentuan final, seperti
Penandatanganan,ratifikasi dan aksesi,mulai berlakunya,
dan lain-lain.
Konvensi Wina tersebut dilengkapi dengan konvensi
mengenai Misi-misi Khusus (Convention on Special Missions) yang diterima oleh
Majelis Umum PBB pada 8 Desember 1969. Konveni mengenai Misi-misi Khusus juga
disebut Konvensi New York 1969 ini, telah pula diratifikasi Indonesia dengan UU
No.2 Tahun 1982 pada 25 Januari 1982.
Sebagaimana
dikatakan di dalam mukadimahnya, bahwa Konvensi New York 1969 mengenai Misi
Khusus ini merupakan pelengkap Konvensi Wina 1961 dan 1963, dan dimaksudkan
dapat menjadi sumbangan bagi pengembangan hubungan bak semua negara, baik
sistem perundang-undangannya maupun sistem sosialnya. Konvensi New York 1969
beserta Protokol Pilihannya mengenai kewaiban untuk menyelesaikan pertikaian
yang sudah berlaku sejak 21 Juni 1985, telah diratifikasi oleh lebih dari lima
puluh negara sampai dengan 31 Desember 2004, 23 di antaranya telah menjadi
pihak Optional Protocol.
Hukum
diplomatik telah mencatat kemajuan lebih lanjut dengan secara khusus melalui
sebuah konvensi, suatu kewajiban yang penting bagi negara penerima untuk
mencegah setiap serangan yang ditujukan kepada seseorang, kebebasan dan
kehormatan para diplomat, serta untuk melindungi gedung perwakilan diplomatik.
Dalam sidangnya yag ke-24 pada 1971, sehubungan dengan meningkatnya kejahatan
yang dilakukan yang dilakukan terhadap misi diplomatik, termasuk juga para
diplomatnya, dan perlunya untuk menghukum para pelanggar, Majelis Umum PBB
telah meminta Komisi Hukum Internasional mempersiapkan draft artikel mengenai
pencegahan dan penghukuman kejahatan-kejahatan yang dilakukan terhadap
orang-orang yang dilindungi secara hukum internasional. Konvensi New York
mengenai pencegahan dan penghukuman kejahatan yang terhadap orang-orang uang
menurut Hukum Internasional dilindungi, termasuk para diplomat 1973 ini
akhirnya telah disetujui oleh Majelis Umum PBB di New York pada 14 Desember
1973, dengan Resolusi 3166 (XXVII).[18]
Konvensi ini kemudian diberlakukan pada 2 Februari 1977, dan sekarang telah
tercatat sekitar 79 negara yang menjadi anggotanya.
Konvensi mengenai Keterwakilan Negara dalam
Hubungannnya dengan Organisasi Internasional yang bersifat Universal
Konvensi
ini dikenal sebagai Konvensi Wina 1975 yang juga merupakan sumbangan yang
penting bagi pengembangan kodifikasi hukum diplomatik. Urgensi perumusan
konvensi sebenarnya didorong oleh adanya situasi di mana pertumbuhan organisasi
intenasional yang begitu cepat, baik jumlahnya maupun lingkup masalah hukumnya
yang timbul akibat hubungan negara dengan organisasi internasional. Perumusan
konvensi tersebut tidak seperti dalam Konvensi Wina 1961 karena melibatkan tiga
aspek hukum, yaitu bukan hanya organisasi intenasional dan negara-negara
anggotanya, melainkan juga negara tuan ruma tempat markas besar organisasi itu
berada. Situasi yang sangat kompleks
seperti ini benar-benar memerlukan hak dan kewajiban dai pihak yang sangat adil
dan memadai.
Sejak
dimajukannya masalah ini kepada Komisi Hukum Internasional untuk pertama
kalinya pada 1958, barulah pembahasan secara subtantif dapat dilakukan pada
1968, di mana Reporter Khusus yang ditugasi untuk menangani masalah ini dapat
melaporkan tentang draft articles yang
lengkap dengan komentar mengenai status hukum bagi wakil-wakil negara dalam
organisasi internasional. Komisi Hukum Internasional kemeudian menyetujui draf articles sebanyak 21 pasal dengan
komentar mengenai ruang lingkup dan hal-hal lainnya yang menyangkut draft articles secara keseluruhan,
termasuk Perwakilan Tetap pada organsasi internasional secara umum. Selama 1969
dan 1970, setelah melanjutkan pembahasan mengenai topik tersebut, Komisi Hukum
Internasional telah menyetujui beberapa draft
articles lagi tentang kekebalan, keistimewaan, dan fasilitas diplomatik
bagi perakilan tetap, termauk kedudukan,kekebalan,keistimewaan, dan kemudahan
bagi Perwakilan Peninjau Tetap, serta delegasi ke berbagai badan dan
konferensi.[19]
Dalam perkembangannya, terdapat permasalahan baru dalam persidangan 1971 dimana
telah dimajukan tiga masalah, yaitu;
1.
Dampak
yang mungkin terjadi dalam keadaan yang luar biasa seperti adanya pengakuan,
putusnya hubungan diplomatik dan konsuler, atau adanya pertikaian bersenjata di
antara anggota-anggota organisasi internasional sendiri;
2.
Perlu
dimasukkannya ketentuan-ketentuan mengenai penyelesaian sengketa;dan
3.
Delegasi
peninjau dari negara-negara ke berbagai badan dan konferensi.
Akhirnya pada 1972 Majelis Umum PBB memutuskan untuk
menyelenggarakan Konferensi Internasional sesegera mungkin. Kemudian pada 1973,
Majelis Umum memberikan waktu agar konferensi semacam itu dilakukan pada
permulaan tahun 1975 di Wina,Austria sejak 4 Februari – 14 Maret 1975 yang dihadiri
oleh 81 negara, 2 negara peninjau, 7 badan khusus, 3 oganisasi Antar
Pemerintah, dan 7 wakil dari Organisasi Pembebasan
Nasional yang diakui oleh Organisasi Persatuan Afrika atau Liga Arab.
Konferensi kemudian menyetujui konvensi tersebut yang terdiri dari 92 pasal dan
terbuka untuk penandatanganan sejak 14 Maret 1975 s.d. 30 September 1975 di
Kementrian Luar Negeri Austria, kemudian diperpanjang s.d 30 Maret 1976 di PBB
New York.
2.3
Sumber
Hukum Diplomatik
Bahwa
hukum diplomatik merupakan bagian dari hukum internasional . Bagaimana hukum diplomatik ini diciptakan sedangkan terdapat
badan pembuat hukum bagi masyarakat internasional. Barangkali hanya Majelis
Umum Perserkatan Bangsa-Bangsa saja selama ini yang telah mengesahkan semua
rancangan konvensi mengenai peraturan-peraturan hukum diplomatic yang
dikembangkan dan dikodifikasi oleh Komisi Hukum Internasional (International
Law Commision =I L C).
Dalam
membahas sumber hukum diplomatik sebagaimana bahasan terhadap sumber-sumber
dari setiap sistem hukum, tidak dapat dipisahkan dari apa yang telah tersebut
dalam Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional. bahwa :
“Bagi
Mahkamah Internasional yang tugasnya memberikan keputusan sesuai dengan Hukum Internasional,
terhadap perselisihan-perselisihan yang diajukan kepadanya akan berlaku :
a.
Perjanjian-perjanjian Internasional,
baik yang bersifat umum maupun khusus, yang dengan tegas menyebutkan
ketentuan-ketentuan yang diakui oleh Negara-negara yang bersengketa;
b.
Kebiasaan-kebiasaan Internasional yang
terbukti merupakan praktek umum yang diakui sebagai hukum;
c.
Prinsip-prinsip hukum umum yang diakui
oleh bangsa-bangsa yang beradap, dan
d.
Keputusan pengadilan dan ajaran-ajaran
sarjana-sarjana yang paling terkemuka dari berbagai Negara didunia sebagai
sumber tambahan bagi menetapkan kaedah-kaedah hukum.
Mengenai
peraturan-peraturan yang ditegaskan dalam Pasal 38 Statuta Mahkamah
Internasional ini yang oleh Mochtar Kusumaatmadja disebutnya sebagai sumber
hukum formil.[20]
Konvensi Internasional yang juga merupakan perjanjian internasional dalam arti
umum, pada hakekatnya melibatkan banyak Negara sebagai pihak karena itu lazim
dikatakan orang perjanjian yang bersifat multilateral, sedangkan dalam arti
tertentu tidak lain merupakan perjanjian dimana hanya beberapa Negara saja yang
menjadi pihak , jika hanya terdiri dari dua pihak, maka konvensi itu bersifat
Bilateral seperti “perjanjian Ekstradisi antara Kerajaan Thailand dan Republik
Indonesia, antara Republik Indonesia dengan Malaysia,[21]
dan sebagainya. Terdapat pula Perjanjian yang bersifat bilateral lain seperti
“Treaty of Ekstradition and Consular” antara Amerika Serikat dan Sri Langka.
Sekarang bagaimana hubungan antara konvensi atau perjanjian yang bersifat multilateral
dengan perjanjian bilateral, sebagaimana hubungan konsuler yang dilakukan oleh
Amerika Serikat dan Sri Langka tersebut
Lebih
dari 150 tahun telah banyak dicapai perjanjian-perjanjian yang menciptakan hukum.
Khususnya dalam rangka hukum diplomatic adalah sebagai berikut :
1.
The final Act of the Congres of Vienna
(1815) in diplomatic ranks,
2.
Vienna Convention on diplomatic
Relations and optional protocols (1961), termasuk didalamnya :
a. Vienna
convention on Diplomatic Relations;
b. Optional
Protocol Concerning Acquisition of nationality;
c. Optional
Protocol Concerning the Compulsory Settlement of Disputes.
3.
Vienna Convention on Consular Relations
and Options Protocols (1963), yang memuat :
a. Vienna
Convention on Consular Relations;’
b. Optional
Protocol Concerning Acquisition of Nationality
c. Optional
Protocol Concerning the Compulsory Settlement of Disputes.
4.
Conventions on Special Mission and
Optional Protocol (1969) yang didalamnya termuat :
a. Convention
on Special Mission;
b. Optional
Protocol Corcerning the Compulsory Settlement of Disputes.
5.
Convention on the Prevention and
Punishment of Crimes against Internationally Protected Persons, including
Diplomatic agents (1973)
6.
Vienna Convention on the Representation
of States in their Relations with International Organization of a Universal
Character (1975).
Disamping
konvensi-konvensi tersebut terdapat pula Resolusi atau Deklarasi yang
dikeluarkan, terutama oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa yang
menimbulkan permasalahan. Secara tradisional Resolusi dan Deklarasi yang tidak
memiliki sifat-sifat seperti perjanjian haruslah dianggap tidak mempunyai kekuatan
hukum, karena itu tidak menciptakan hukum. Di lain pihak nampaknya kini
berkembang adanya kecenderungan “teori” dari kesepakatan sampai kepada
konsensus yang menjadi dasar bagi Negara-negara akan terikatnya
kewajiban-kewajiban hukum.[22]
Adanya
kekuatan yang mengikat bagi sesuatu Resolusi memang masih belum jelas
batasannya. Menjadi persoalan apakah suatu resolusi yang disetujui secara
mayoritas Negara anggotanya mempunyai kekuatan yang mengikat ?Majelis Umum
Perserikatan Bangsa-Bangsa bukanlah badan yang berwenang menciptakan hukum.
Resolusi yang dihasilkan dengan jalan berwenang menciptakan hukum. Resolusi
yang dihasilkan dengan jalan biasa tidak
akan menjadikan, merumuskan atau mengubah resolusi itu menjadi hukum
internasional baik secara maju atau surut.Didalam hal-hal yang luar biasa dimana
resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa dapat memberikan sumbangan
bagi perkembangan hukum internasional, dapat dianggap mempunyai kekuatan
mengikat jika resolusi itu menciptakan hukum atau menyatakannya sebagai hukum
dan jika isi resolusi itu tercermin didalamnya kebiasaan-kebiasaan umum yang
diakui oleh Negara-negara merdeka.
Mengenai
kebiasaan Internasional (Internasioanal costum) sendiri sebagaimana dinyatakan
dalam Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional, dianggap sebagai
kenyataan dari praktek-praktek umum yang diterima sebagai hukum. Namun dasar
hukum dari kebiasaan Internasional ini sebelumnya banyak menimbulkan
pertentangan, terutama bagi Negara-negara yang baru merdeka. Pada waktu masalah
ini diperdebatkan di Komisi Hukum Internasional dan Komite VI Statuta Komisi
Hukum Internasional telah disepakati besama-sama [23]
Disamping
kebiasaan dan perjanjian yang keduanya dapat merupakan sumber pokok dari hukum
diplomatik, masih ada sumber lainnya yang bersifat subsidair, seperti
prinsip-prinsip umum dalam hukum yang diakui oleh Negara-negara dan
keputusan-keputusan Mahkamah. Khusus mengenai Keputusan Mahkamah ini hakekatnya
tidak mempunyai kekuatan mengikat kecuali bagi pihak-pihak tertentu terhadap
sesuatu kasus.
2.4
Pelaksanaan
Hukum Diplomatik
Sejak
dekade delapan puluhan bahwa laju tindakan terorisme cukup menonjol, khususnya
yang dilakukan terhadap diplomat merupakan tidakan yang sangat meresahkan dan
membahayakan keselamatan para agen diplomatic dalam melaksanakan tugas sebagai
diplomat.
Resolusi-resolusi
antara lain mendesak kepada semua anggota PBB untuk mematuhi dan melaksanakan
prisip-;prinsip hukum internasional yang mengatur hubungan diplomatic dan
konsuler.
Maksud
dari Resolusi Majelis Umum PBB No. 36/165/29 Januari 1980, terdapat 3 kewajiban
Negara-negara anggota PBB sebagai berikut :
-
Majelis Umum PBB meminta kepada semua
Negara anggotanya untuk sesegera mungkin memberitahukan kepada sekjen apabila
terjadi tindakan terorisme yang ditujukan terhadap agen diplomatic dan konsuler
termasuk perwakilannya ;
-
Negara- Negara anggota diminta pula
untuk melaporkan kepada Sekjen tentang langkah-langkah yang telah dilakukan
untuk menghukum para pelanggar, dan upaya-upaya pencegahan agar tidak terjadi
tindakan terorisme ;
-
Negara-negara anggota juga diminta untuk
memberikan pandangan dan sikap mereka tentang tindakan maupun langkah-langkah
yang diambil ke depan demi melindungi perwakilan diplomatic dan konsuler asing
di negaranya ; [24]
Dalam hukum
diplomatik ketentuan tidak dapat diganggu gugat invioliability, atau hak-hak
istimewa dan kelonggaran diplomatic dikenal sebagai hak atas perlindungan right
to protection bagi agen diplomatik yang berada di Negara penerima.
2.5
Pembukaan
dan Pemutusan Hubungan Diplomatik
a.
Pembukaan
Hubungan Diplomatik
Bahwa
setiap Negara berdaulat memiliki hak Legasi yang aktif yaitu hak suatu Negara
untuk menetapkan accreditation wakiknya ke Negara penerima, atau hak legasi
Pasif, yaitu kewajiban untuk menerima wakil-wakil Negara asing. sebagai
landasan Yuridis untuk membuka hubungan diplomatic antarnegara, ketentuan Pasak
2 Konvensi Wina 1961 yang menggariskan :
“Pembukaan
hubungan diplomatic antara Negara-negara dan pembukaan perwakilan diplomatik
tetap dilakukan atas dasar kesepakatan bersama secara timbal-balik“. Di
Indonesia berdasarkan Pasal 9 Ayat (2) UU No. 37/1999 tentang Hubungan Luar
negeri, pembukaan hubungan diplomatic dan pembukaan kantor perwakilan
diplomatic ditetapkan dengan keputusan presiden. dapat ditambahkan disini bahwa
prinsip kesepakatan bersama yang terdapat dalam konvensi merupakan hasil
kompromi rasional yang sepenuhnya sesuai dengan prinsip pembatasan kedaulatan
harus disetujui Negara bersangkutan.
Dalam
hukum internasional public sudah ada penerimaan umum bahwa kunci pembukaan
hubungan diplomatic itu berasal dari pengakuan sebagai suatu Negara yang
berdaulat dari Negara-negara atau pemerintah yang telah merdeka dan berdaulay
lainnya terlebih dahulu. [25]
dalam prakteknya suatu Negara memberi pengakuan terlebih dahulu, kemudian
membuka hubungan diplomatic. dapat juga terjadi bahwa pengakuan sekaligus
merupakan pembukaan hubungan diplomatic.
b.
Klasifikasi
Pangkat dan Gelar Pejabat Diplomatik
ü Kongres
Wina 1815
Menurut
ketentuan Regulation of Vienna, perwakilan Diplomatik dibagi dalam tiga
golongan, yaitu :
1. duta
besar beserta perwakilan kursi suci (Papal Lagates and Nancios) ;
2. duta
besar luar biasa dan berkuasa penuh (Ministers, Plenipotentiary and Envoys
Extraordinary) ;
3. Kuasa
Usaha (Charges d’affaires).
Penggolongan atau
klasifikasi jabatan perwakilan diplomatic ini, tampaknya tidak lain hanya
didasarkan atas perbedaan fungsi yang dijalankan setiap golongan jabatan
perwakilan diplomatic. [26]
c.
Misi
Diplomatik
Misi
diplomatik adalah suatu misi diploimatik terdiri atas seorang wakil diplomatic
yang dikirim oleh suatu Negara dan diterima oleh Negara lain, bersama staffnya
(kalau ada) dan dirikan di ibukota negara penerima.
Fungsi
atau tugas misi akan Nampak pada strukturnya dan pola berikut tetap benar.
Meskipun demikian, tidak menurutup kemungkinan bisa saja terjadi dalam beberapa
dalam beberapa hal hanya dikerjakan oleh satu orang.
-
Kepala Misi
-
Kantor Keduataan
a. Administrasi
dan koordinasi
b. Sekretariat
dan Arsip
c. Komunikasi
dan jasa teknik lain
d. Staf
Lokal
e. Akunting
-
Bagian perdagangan
-
Bagian Konsuler
-
Bagian Pers dan Informasi
-
Dinas Khusus Militer dan dinas khusus
lainnya
d.
Pengangkatan
dan Penerimaan Kepala Perwakilan Diplomatik
Pengangkatan seorang duta besar biasanya
dilakukan atas nama kepala Negara. Calon-calon duta besar diajukan oleh Menteri
luar negeri kepada kepala Negara untuk mendapatkan persetujuannya. Cara
pemilihan dan praktik yang berlaku tidak selalu sama dengan di setiap Negara,
bergantung pada system dan praktik yang berlaku di suatu Negara. Dapat terjadi pemilihan calon
ditentukan oleh cabinet atau hanya oleh
kementerian luar negeri setelah memperhatikan berbagai faktor. Di
Amerika Serikat pengangkatan seorang duta besar harus mendapat persetujuan dari
senat.
Negara
penerima berhak menolak seorang calon, apakah didasarkan atas perilaku atau
kebijakan profesionalnya di masa lalu. dapat terjadi seorang calon duta besar
mempunyai sikap dan pandangan yang tidak berdahabat terhadap Negara penerima
dan dalam hal ini pencalonannya dapat ditolak. Demikian juga halnya dengan
calon tersebut terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang antinegara penerima. Bila
ditolak, Negara penerima tidak harus memberi alasan mengenai penolakan
tersebut, lazimnyha penolakan itu bukan dalam bentuk komunikasi resmi, tetapi
hanya dalam bentuk isyarat secara halus.
1.
Pengangkatan
Staff Perwakilan Diplomatik
Sesuai
Pasal 7 Konvensi Wina 1961, Negara pengirim dapat dengan bebas mengangkat
anggota-anggota staf perwakilan. Ketentuan Pasal 7 ini merupakan penekanan
terhadap prinsip umum hukum internasional bahwa pengangkatan staf perwakilan
kecuali duta besar tidak memerlukan persetujuan Negara penerima.
Menganai
atase-atase militer, permintaan persetujuan kepada Negara penerima tidak mutlak
diperlukan.[27]
2.
Penentuan
Besarnya Staf Perwakilan Diplomatik
Setelah
adanya kesepakatan bagi pembukaan misi diplomatic tetap, maka terserah bagi
Negara pengirim untuk menentukan besarnya perwakilan, yaitu jumlah pejabat dan
staf yang harus ditempatkan di Negara penerima atas dasar volume pekerjaan yang
terjadi sejak beberapa dekade terakhir adalah meningkatnya jumlah staff
perwakilan yang disebabkan berbagai faktor sehingga menimbulkan kesulitan bagi
Negara penerima terutama Negara-negara kecil. Dalam Delegasi Amerika Serikat
berpendapat bahwa pembatasan jumlah staf boleh dilakukan tetapi atas dasar
prinsip resiprositas..
tetapi
dalam praktiknya pembatasan jumlah maksimum diberlakukan bila terbukti suatu
perwakilan terlibat dalam kegiatan spionase atau terorisme merupakan
kebijakan-kebijakan Negara maju.[28]
3.
Persona
Non-Grata
Berdasarkan
Pasal 9 ayat (1) Konvensi Wina 1961 dapat ditegaskan bahwa negara penerima
setiap saat dan tanpa penjelasan dapat memberitahu negara pengirim bahwa kepala
perwakilan ataupun salah seorang anggota staf diplomatic adalah Persona
Non-grate, kerena itu Negara pengirim harus memanggil pulang atau mengakhiri
fungsinya di perwakilan. Dapat juga seseorang dinyatakan sebagai orang yang
tidak disenangi (non-grate) atau tidak dapat diterima sebelum tiba di wilayah
Negara penerima.
Selanjutnya
dalam Ayat (2) dinyatakan, bila Negara pengirim menolak atau tidak mampu dalam
jangka waktu yang pantas melaksanakan kewajibannya, Negara penerima dapat
menolak untuk mengakui pejabat yang bersangkutan sebagai anggota perwakilan.
Pernyataan
Persona non-grate ini menjadi bahan perdebatan yang panjang dan menarik, apakah
suatu Negara berkewajiban memberikan alasan untuk tindakannya menyuruh
dipanggil pulang atau recall atau memulangkan atau deportation seoranhg
diplomat. Negara pengirim yang diplomatnya diusir selalu meminta penjelasan.
Karena penjelasan itu selalu dijawab secara diplomatis. Akhirnya Konvensi Wina
dapat mengakhiri perdebatan tersebut dan seperti terumus dalam Pasal 9 bahwa
neraga penerima dapat menyatakan Persona non-grate tanpa harus memberikan penjelasan
/ alasan kepada Negara pengirim.
Deklarasi
persona non-grate yang dikenakan kepada seorang duta besar, termasuk anggota
staf misi diplomatik lainnya, khususnya terhadap mereka yang sudah tiba atau
berada dinegara penerima, melibatkan pada tiga kegiatan yang dinilai
bertentangan dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Konvensi Wina 1961
tentang Hubungan Diplomatik yaitu :
-
Kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh
para diplomat asing yang dianggap mencapuri urusan dalam negeri Negara-negara penerima
(bersifat politis/subversive) dan bukan saja dapat merugikan kepentingan
nasional tetapi juga melanggar kedaulatan suatu Negara penerima ;
-
Kegiatan-kegiatan yang dilakukan itu
sudah jelas melanggar hukum dan peraturan-peraturan perundang-undangan lainnya
dinegara penerima ;
-
Kegiatan-kegiatan yang dapat
dikategorikan sebagai kegiatan spionase yang dapat dianggap menggangu, baik
stabilitas maupun keamanan nasional, Negara penerima.
Kegiatan-kegiatan
yang dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang bersifat politis atau
subversive, sudah jelas bertentangan dengan ketentuan konvensi Wina 1961
tentang Hubungan Diplomatik yang berbunyi :
“Tanpa
berprasanka para Diplomat yang menikmati kekebalan dan keistimewaan,
berkewajiban untuk menghormati hukum dan peraturan perundang-undangan Negara
penerima. Mereka juga berkewajiban untuk tidak mencampuri urusan dalam negeri
Negara penerima.”
Pelanggaran
terhadap ketentuan ini seperti tindakan-tindakan yang bersifat politis ataupun
subversive dapat mengakibatkan seorang diplomat dinyatakan persona non-grate,
dan harus segera meninggalkan Negara penerima. [29]
2.6
Tugas
dan Fungsi Perwakilan Diplomatik
Tugas dan fungsi suatu
Perwakilan diplomatik adalah :
a.
Representasi
Fungsi
perwakilan diplomatik, sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 3 ayat (1,a)
konvensi Wina 1961 bahwa “mewakili Negara pengirim di Negara penerima”
(Representing the sending State in the receiving State).
Ada
beberapa batasan mengenai fungsi representative, antara lain dikemukakan oleh
Gerhard Von Glahn dalam bukunya “ Law among Nations”.[30],
bahwa :
“Seorang
wakil diplomaatik itu selain mewakili pemerintah Negaranya, ia juga tidak hanya
bertindak di dalam kesempatan ceremonial saja, tetapi juga melakukan protes
atau mengadakan penyelidikan (inquiries) atau pertanyaan dengan pemerintah
Negara penerima. Ia mewakili kebijaksanaan politik pemerintah negaranya.”
Bagi
Indonesia, pemerintah kita ada juga memberikan batasan-batasan tentang tugas
dan fungsi mewakili tersebut yaitu “mewakili Negara Republik Indonesia secara
keseluruhan di Negara penerima atau organisasi internasional.[31]
b.
Proteksi
Dalam
konvensi Wina 1961 ditegaskan bahwa perwakilan diplomatik itu berfungsi
melindungi kepentingan-kepentingan Negara pengirim serta warga negaranya di
dalam wilayah dimana ia diakreditasikan dalam batas-batas yang diperkenankan
oleh hukum Internasional. Perlindungan itu pula harus diberikan oleh Negara
penerima, bahkan Negara ketigapun harus memberikan perlindungan juga kepada
para pejabat diplomatic jika mereka in transit di Negara ketika tersebut. [32]
Masyarakat
internasional menganggap perlu diadakan usaha-usaha untuk melengkapi
ketentuan-ketentuan Internasional yang ada, agar dapat menjamin perlindungan,
keselamatan dan pengamanan bagi wakil-wakil Negara, khususnya usaha yang
dianggap penting untuk memusatkan perhatian kepada tanggung jawab internasional
bagi Negara-negara pelanggarnya.[33]
c.
Negosiasi
Dalam
hukum internasional hubungan antar Negara dinamakan “negotiation” . Negotiation
atau perundingan ini dapat diadakan antara dua negara atau lebih. Yang dapat
turut serta dalam perundingan itu pada umumnya adalah Negara-negara bedaulat,
tetapi sebagai pengecualian dapat diizinkan pula turut serta Negara-negara yang
belum merdeka dan berdaulat penuh, seperti yang pernah terjadi dahulu, dimana
sesudah perang dunia ke II, India diperkenankan turut serta dalam perundingan
konferensi “San Fransisco” pada tahun 1945. [34]
Dalam
hal mengadakan perundingan, maka pejabat-pejabat diplomatik menurut Pasal 3
ayat (1,c) Konvensi Wina 1961, ditentukan bahwa, perundingan dengan pemerintah
Negara penerima (negotiating with the government of the receiving State).
Perundingan-perundingan
yang dimaksud merupakan salah satu fungsi diplomatik dalam mewakili negaranya.
Namun sering perundingan mengenai masalah tertentu dilakukan oleh utusan-utusan
khusus, terutama jika hal tersebut mengenai teknis.Dengan demikian dapat pula
tegaskan bahwa maksud diadakannya perundingan, baik antara negara pengirim dan
Negara penerima bahkan dapat pula Negara ketiga ialah beraneka macam adanya,
dari maksud untuk pertukaran pendapatan (Exchange of views) tentang suatu
masalah politik,ekonomi, social atau kebudayaan dan ilmu pengetahuan sampai
kepada maksud untuk mengadakan persiapan ataupun persetujuan.
d.
Pelaporan
Kewajiban
membuat laporan bagi perwakilan diplomatik memang sudah ditentukan oleh
konvensi Wina 1961,[35])
dimana ditegaskan bahwa “memberikan laporan kepada Negara pengirim mengenai
keadaan-keadaan dan perkembangan-perkembangan Negara penerima, dengan cara-cara
yang dapat dibenarkan oleh hukum.”
Tugas
pelaporan ini merupakan suatu hal yang utama bagi perwakilan diplomatik di
Negara penerima, termasuk di dalam tugas observasi secara seksama atas segala
peristiwa yang terjadi di Negara penerima. Perlunya adalah demi memperlancar
pengurusan kepentingan Negara.
Dasar
dari kiewajiban seseorang diplomat adalah memberikan laporan kepada
pemrintahnya mengenai kebijaksanaan-kebijaksanaan politik dan
peristiwa-peristiwa lainnya yang ada di Negara dimana ia diakreditasikan kepada
pemerintah negaranya. Asalkan dalam hal membuat laporan ini wakil tersebut
bukanlah seorang spionase.
e.
Peningkatan
Hubungan Persahabatan antara Negara
Fungsi diplomatik yang
tidak kalah pentingnya adalah meningkatkan hubungan antar Negara, hal ini sudah
dijanjikan oleh konvensi wina 1961 [36] )
yang menentukan bahwa; “meningkatkan hubungan-hubungan persahabatan antara
Negara penerima dan Negara pengirim, dan mengembangkan hubungan-hubungan
ekonomi, kebudayaan serta ilmu pengetahuan diantara mereka.”
Menjadi tugas
perwakilan diplomatik untuk selalu berusaha dan menjaga hubungan antara Negara
pengirim dan Negara penerima. Usaha-usaha peningkatan dilakukan dengan berbagai
macam cara diplomasi. Cara-cara diplomasi dimaksud, menurut Jono Hatmodjo ada
empat macam [37])
yaitu :
a. Diplomasi
Politik;
b. Diplomasi
Ekonomi;
c. Diplomasi
social-budaya dan penerangan;
d. Diplomasi
Hankam.
Hal-hal
tersebut adalah merupakan instrument politik luar negeri. Kemudian ada pula
pendapat lain mengatakan bahwa fungsi lainnya dari seseorang wakil diplomatik
dalam meningkatkan hubungan persahabatan antar rakyat Negara pengirim dan
rakyat Negara menerima secara luas..
Bahwa
mengenai fungsi perwakilan diplomatik menurut konvensi Wina1981 ini ternyata
cukup mengikat dalam Pasal 3 konvensi wina 1961dalam menentukan fungsi-fungsi
perwakilan diplomatic menggunakan istilah “consist inter alia in”, ini
maksudnya adalah ingin menunjukkan bahwa pasal-pasal yang bersangkutan tidak
mencakup semua tuga-tugas perwakilan diplomatik.
2.7
Hak
dan Kewajiban Pejabat Diplomatik
a.
Kekebalan Pribadi
Negara
penerima mempunyai kewajiban membuat peraturan-peraturan atau mengambil
langkah-langkah untuk melindungi para diplomat asing dalam Pasal 29 Konvensi
Wina 1961 berbunyi :
Artinya
“Pejabat diplomatic tidak dapat diganggu gugat, tidak boleh ditangkap dan
ditahan. mereka harus diperlakukan dengan penuh hormat di Negara penerima harus
mengambil langkah-langkah yang layak untuk mencegah serangan atas dirinyam
kebebasan dan martabatnya,”
b.
Kebebasan Yurisdiksional
Akibat
yang paling penting adalah tidak boleh diganggu gugatnya seorang diplomartik
adalah hak untuk bebas dari yurisdiksi Negara penerima sehubungan dengan
masalah-masalah criminal. jadi dapat dikatakan bahwa kekebalan para diplomat
bersifat mutlak dan dalam keadaan apa pun mereka tidak boleh diadili ataupun
dihukum. [38]
c.
Penaggalan Kekebalan
Pasal
32 Konvensi Wina berisikan ketentuan-ketentuan tentang penganggalan kekebalan
dari kekuasaan hukum. disebutkan bahwa kekebalan dari kekuasaan bukan pejabat
diplomatic dan orang-orang yang menikmati kekebalan seperti tersebut dalam
Pasal 37 dapat ditanggalkan oleh Negara pengirim. Selanjutnya dijelaskan pula
penaggalan tersebut harus selalu dinyatakan dengan jelas Contoh kasus
penanggalan kekebalan dari kekuasaan hukum yaitu :pada tahun 1992 Pemerintah
Thailand menaggalkan kekebalan seorang sekretaris dua Kedutaan Besarnya di
London yang terlibat dalam penyulundupan Heroin, setelah kekebalannya
ditanggalkan dia diadili dan dihukum penjara selama 20 Tahun.[39]
d.
Pembebasan Pajak
para
pejabat diplomatic tidak membayar pajak Negara akreditasi karena dari segi
prinsip pembayaran pajak merupakan kepatuhan dan keterikatan kepada Negara,
Pajak-pajak hanya dipungut oleh Negara terhadap warga negaranya dan orang-orang
asing bukan diplomat yang berdiam di Negara tersebut atas dasar prinsip
kedaulatan territorial [40].
e.
Hak-hak istimewa dan kekebalan
Anggota-anggota Perwakilan lainnya dan Pembantu Rumah Tangga
Dalam
Pasal 37 Konvensi Wina 1961 Anggota-anggota staf pembantu perwakilan yang bukan
warga Negara setempat memperoleh kekebalan-kekbalan sehubungan dengan
tindakan-tindakan yang dilakukan dalam rangka tugasnya dan juga bebas dari
pungutan dalam pajak –pajak atas pendapatan yang mereka terima, mengenai
pembantu rumah tangga anggota-anggota perwakilan dibebaskan dari pungutan dan
pajak dengan pengertian mereka bukan warga Negara setempat. mereka juga dapat
memperoleh hak-hak istimewa dan kekebalan-kekebalan sejauh yang diperolehkan
Negara penerima [41].
2.8
Landasan
Yuridis Pemberian Kekebalan dan Keistimewaan Diplomatik
Adanya
pemberian kekebalan dan keistimewaan bagi para pejabat diplomatic pada
hakikatnya merupakan hasil sejarah dunia diplomasi yang dianggap sebagai
kebiasaan hukum Internasional. Sesuai dengan aturan-aturan kebiasaan dalam
hukum Internasional. terdapat tiga teori mengenai landasan hukum pemberian
kekebalan dan keistimewaan dipomatik di luar negeri, yaitu sebagai berikut.[42]
a.
Teori
Eksterritorialitas (Exterritoriality Theory)
Menurut
teori ini seorang pejabat diplomatic dianggap seolah-olah tidak meninggalkan
negaranya, ia berada diluar wilayah Negara penerima, walaupun kenyataannya ia
sudah jelas berada di luar negeri sedang melaksanakan tugas-tugasnya di Negara dimana
ia ditemparkan.
meskipun
demikian, dalam praktiknya teori eksterritorialitas ini mendapat kritikan dari
banyak pihak karena dianggap tidak realistis. Teori ini hanya didasarkan pada
suatu fiksi dan bukan realita yang sebenarnya karena itu tidak diterima
masyarakat internasional.
b.
Teori
Representatif
Teori
kedua bahwa baik pejabat diplomatic maupun perwakilan diplomatic, mewakili
Negara pengirim dan kepala negaranya. Memberikan hak-hak istimewa dan
kekebalan-kekebalan kepada pejabat-pejabat diplomartik asing juga berarti bahwa
Negara pengirim, kebesaran, kedaulatan, serta kepala Negara-negara. Teori ini
berasal dari era kerajaan masa lalu dimana Negara penerima memberikan semua
hak, kebebasan, dan perlindungan kepada utusan-utusan raja sebagai penghormatan
terhadap raja itu sendiri. Namun seperti halnya dengan teori
eksterritorialitas, pemberian hak-hak istimewa dan kekebalan diplomatik ini
tidak mempunyai batas yang jelas dan menimbulkan kebingungan hukum.
c.
Teori
Kebutuhan Fungsional (Functional Necessity Theory)
Teori
ini mengajarkan bahwa hak-hak istimewa dan kekebalan-kekebalan diplomatik dan
misi diplomatik hanya didasarkan pada kebutuhan-kebutuhan fungsional agar para
pejabat diplomatik dapat melaksanakan tugasnya dengan baik dan lancer.
Dalam
mukadimah Konvensi Wina 1961 tentang hubungan diplomatik dirumuskan: “bahwa
tujuan pemberian kekebalan dan keistimewaan tersebut bukan untuk menguntungkan
orang perseorangan, tetapi untuk menjamin pelaksanaan yang efisien fungsi-fugsi
diplomatik sebagai wakil Negara.
2.9
Konvensi
Wina Tentang Hubungan Diplomatik
Konsiderans Konvensi Wina tentang
Hubungan Diplomatik serta Protocol Opsionalnya[43]
Negara-negara
peserta Konvensi sekarang ini,
Mengingat,
bahwa semua rakyat bangsa-bangsa sejak zaman purbakala mengakui status wakil
diplomatic,
Mempertimbangkan
tujuan dan Pokok Piagam Perserikatan Bangsa-bangsa tentang persamaan kedaulatan
Negara-negara, pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional dan
peningkatan hubungan persahabatan antar bangsa-bangsa,
Percaya,
bahwa Konvensi Internasional mengenai hubungan diplomatik, hak-hak istimewa dan
kekebalan diplomatic akan memberikan sumbangan terhadap perkembangan hubungan
persahabatan antar bangsa-bangsa,
Menyadari,
bahwa tujuan hak-hak istimewa dan kekebalan tidak dimaksud untuk memberi
keuntungan kepada pribadi orang tetapi menjaga tepat guna pelaksanaan
tugas-tugas misi diplomatic dalam mewakili Negara-negara,
Memperkuat,bahwa
peraturan-persaturan hukum internasional harus tetap mengatur
persoalan-persoalan yang tidak diatur oleh Pasal-Pasal konvensi sekarang ini,
2.10
Penanganan
Masalah-masalah Regional Internasional
Intervensi militer Vietnam di
Kampuchea telah menjadikan kawasan Asia tenggara sebagai daerah yang lebih
rawan dan eksplosif karena kelibatkan secara langsung kekuatan besar Uni Soviet
dan RRC. Gejolak Indocina telah memaksa Negara-negara ASEAN untuk memperhitungkan
bersama gejala implikasinya, terutama karena pertimbangan salah satu anggotanya
Muangthai dapat terlibat secara langsung dan karena perhitungan bahwa
dikuasainya Indocina oleh satu ideologi aggressip (komunisme) dapat merupakan
jembatan penetrasi kea rah selatan. Penolakan campurtangan militer Vietnam di
Kampuchea telah mendapat dukungan mayoritas PBB sebagaimana tercermin dengan
diterimanya Resolusi ASEAN.
Antara Negara-negara ASEAN telah
terdapat kesatuan sikap yang menanggapi kemelut Indocina yang pada intinya
bertujuan untuk :
a.
Mencegah merembetnya (spill-over)
konflik ke wilayah salah satu Negara ASEAN.
b.
Mengusahakan agar kekuatan besar tidak
terlibat dalam kemelut tersebut yang dapat mengancam stabilitas kawasan.
c.
Menghindarkan masuknya konflik
Sino-Soviet dalam ASEAN.
d.
Mempertahankan prinsip dasar
penghormatan kedaulatan dan keutuhan wilayah Asia Tenggara dan menjadikan Asia
Tenggara terdiri atas konsep ZOPFAN.
Seperti
semenanjung korea yang berpotensi untuk dapat bergolak, hubungan india dan Pakistan
yang masih diselimuti oleh saling curiga dan hubungan setigita Amerika
Serikat-Jepang-RRC.
Perjanjian damai Mesir-Israel yang
didukung sepenuhnya oleh Amerika Serikat telah menimbulkan dua sikap/
kebijaksanaan dunia Arab yang berbeda. Pengaruh dari konflik Arab tersebut
dirasakan di for a multilateral seperti gerakan Non-Alighment dan konprensi
Islam.dalam hal konflik Iran-Amerika Serikat dan Resolusi dapat menjadi
pertarungan antar Islam dengan Komunisme yang menyeret Negara tetangga seperti
Pakistan dan Iran. Bahkan tidak mustahil menyebabkan tertiupnya lagi angina
perang dingin antara Uni Soviet dengan Amerika Serikat. Uni Soviet telah
memanfaatkan telah memanfaatkan kesempatan dari keenggangan Amerika Serikat untuk melibatkan diri secara
langsung dalam pergolakan-pergolakan yang condong bercorak konfrontatif dengan
Uni Soviet, terutama sekali apabila peristiwanya terjadi di Negara-negara Dunia
Ketiga. Mengingat kedudukan strategis Afganistan bagi Uni Soviet maritimnya
untuk memperkuat kehadirannya di
Samudera Hindia dan Pasifik, maka Amerika Serikat, Jepang dan RRC dihadapkan
dengan pilihan untuk mempererat kerjasamanya jika tidak ingin kekuatan militer
Uni Soviet semakin diproyeksi untuk memperoleh keuntungan global.
BAB III
PENUTUP
3.1.
Kesimpulan
Perwakilan
Diplomatik memegang peran penting dalam menjalin hubungan bilateral dengan yang
bersangkutan. Perwakilan Diplomatik ini dapat dibagi menjadi berbagai
tingakatan seperti Ambassador atau duta berkuasa penuh yang dibantu Duta berkuasa
Duta, Menteri Residen, Kuasa Usaha dan Atase- atase. Selain perwakilan secara
diplomatic dan politis juga terdapat perwakilan yang tidak bersifat politis dan
hanya mencakup bidang tertentu secara kedaerahan. Perwakilan Diplomatik ini
mempunyai tujuan untuk melindungi para warga negaranya yang berada di Negara
penerima. Perwakilan Diplomatik memiliki hak Imunitas yaitu hak yang menyangkut
pribadi seorang diplomat dan hak ekstrateritorial yaitu hak atas bangunan dan
perangkat diplomatic lainnya.
3.2.
Saran
Setelah
penyelesaian pembuatan makalah ini, pemakalah menyadari di dalam pembuatan dan
penulisan makalah ini tentulah masih banyak kekhilafan, kesalahan dan
kekurangan kerana kita sebagaimana manusia tidak memiliki kesempurnaan. Untuk
itu kepada teman-teman dan Dosen , kami dari pemakalah meminta maaf apabila
terdapat kesalahan dalam pembuatan dan penulisan resensi ataupun kalimat .
untuk itu kami dari pihak pemakalah meminta saran dan kritik dari dosen yang
bersifat membangun untuk memperbaiki kami di kemudian hari. Demikian makalah
ini kami buat akhir kata kami ucapkan
terima kasih.
[1]
Sumarsono Suryokusumo, 2013, Hukum Diplomatik dan Konsuler Jilid I, tatanusa,
Jakarta, hlm 8.
[2]
ibid hal. 3
[3]
Sumaryo Suryokusumo, Op Cit. hlm 53.
[4]
Konvensi wina 1961, Pasal 22 (1).
[5]
Ibid, Pasal 27 (1).
[6] Ellen Denza, Diplomatik Law,
Commentary on the Vienna Conventions on Diplomatic Relatations, Oceania Publications, Inc. Dobbs Ferry, New
York,1976.
[7] Gore-Booth,D. pakenham, Satow
Duite to Diplomatik Praktice, Fith Edition, Longnam Group Ltd. London, 1979,
hal 3.
[8] Ibid
[9] Ian Brownlie, Princioles of
public Internasional Law, Oxford University Press, Third Edition; 1979, hal
345.
[11] Ali Sastroamidjojo, Pengantar
Hukum Internasional, Penerbit: Bhrata, Djakarta, 1971, hlm 165
[12] Klasifikasi Kepala Perwakilan
versi Kongres Wina 1815.
[13] Sumarsono Suryokusumo, Op Cit
hlm, 10
[14] Syahmin AK, HUkum Perjanjian Internasional
: Menurut Konvensi Wina 1696 (Bandung; CCV. Armico, Edisi Pertama 1985), hlm.,
1 et seq.
[15] Laporan Mahkamah Internasional
(ICJ. Report, 1979, hlm., 19).
[16] United Nations Conference of
Consular Relations, Official Document, 2 Vols. A/Conf.25/16 L. Dembinski, The
Modern law of Diplomacy, (Nederlands: Martinus Nijhoff Publishers, 1988), hlm.,
9.
[17] Sumarsono Suryokusumo, Op. Cit.,
hlm., 17.
[18] G. V. G Khrisnamurty, Op. CIt.,
hlm. 94
[19] United Nations, The Work of the
International Law Commision (1970), hlm., 62-64.
[20]
Mochtar Kusumaatmadja.,
Pengantar Hukum Internasional., Buku I-Bagian Umum. Binacipta, Bandung, 1982,
hal 108.
[21]
Sebuah buku yang berbahasa
Indonesia, membahas tentang masalah ekstradisi dan jaminan perlindungan atas
hak-hak azasi manusia; oleh M. Budiarto,
Ghalia-Indonesia, 1980.Dalam buku itu terlampir beberapa perjanjian bilateral
tentang ekstradisi antara RI dan Malaysia dan lainnya.
[22]
Ricard A. Falk., On the Quasi Legislative
Competence of the General Assembly.,
[23] Dokumen PBB (Majelis Umum) A CN. 4/16/1950.
[25] Syahmin AK., Hukum Internasional
Publik, Jilid I,(Bandung : PT Binacipta, Cetakan ke -5, Mei 2003), hlm., 117.
[26] Oppenheim-Lauterpacht,
International Law, Vol.1, Longmans Green & company, 8, 1960, hlm 769-770
[27] Syahmin Ak, SH.MH., Hukum
DIplomatik dalam rangka studi analisis, PT. RajaGrafindo, 2008, hlm., 61
[28] Syahmin Ak, SH.MH., Hukum
DIplomatik dalam rangka studi analisis, PT. RajaGrafindo, 2008, hlm., 62-65
[29] Syahmin Ak, SH.MH., Hukum
DIplomatik dalam rangka studi analisis, PT. RajaGrafindo, 2008, hlm., 65-78
[30] G.V. Glahn., Law among Nations.,
(an introduction to public international Law), 2nd, ed Mac Millan &
Co. London 1970, hal. 385-386.
[31] ) Lihat Keppres No.45/1974,
tentang Susunan Organisasi Departemen, 26 Agustus 1974, jo Keputusan Menlu RI.
SK.582/BU/111/79/01/1979, tentang Susunan Organisasi Perwakilan-Perwakilan RI
di Luar Negeri, 31 Maret 1979,
[32] Lihat Pasal 40 konvensi Wina
1961.
[33])
Pengantar Hukum Diplomatik, A. K. Syahmin Hal 55
[34] Ali Sastroamidjojo. Op.cit., hal
144
[36] Syahmin Ak, SH.MH., Hukum
DIplomatik dalam rangka studi analisis, PT. RajaGrafindo, 2008, hlm., 93-94.
[37] Syahmin Ak, SH.MH., Hukum
DIplomatik dalam rangka studi analisis, PT. RajaGrafindo, 2008, hlm., 58-59.
[38]
Lihat Pasal 31 Konvensi Wina 1961
[39]
British Journal Of Internasional Law (B.J.,I.L), hlm 547.
[40]
Ibid Hal 555-556
[41]
Pasal 37 Konvensi Wina 1963
[42] D.P. O.Conel. International Law,
Vol II, Steven & Sons Ltd Ocean Publish. Inc London, 1965,hlm., 963;
[43] Undang-Undang No.1 Tahun 1982
Komentar
Posting Komentar