BAB I MAKALAH HUKUM DIPLOMATIK INTERNASIONAL



BAB I
PENDAHULUAN
1.1.            LATAR BELAKANG MASALAH

Hubungan Diplomatik merupakan hubungan yang dijalankan antara Negara satu dengan lainnya untuk  saling memenuhi kebutuhan masing-masing Negara, hal ini sudah dilakukan sejak berabad-abad yang lalu. Untuk dapat menjalankan hubungan diplomatic dengan Negara lain perlu adanya pengakuan  (recognitif) terlebih dahulu terhadap Negara tersebut, terutama oleh Negara yang akan menerima perwakilan suatu Negara tersebut, maka pembukaan hubungan dan perwakilan diplomatic tidak bisa dilakukan. Misalnnya Indonesia tidak bisa membuka perutusan diplomatiknya ke Israel kerena belum mengakui Israel sebagai sebuah Negara. [1]
Pada awalnya, pelaksanaan hubungan diplomatic itu sendiri hanya dilaksanakan berdasarkan kebiasaan internasional yang ada diantara masyarakat-masyarakat internasional dahulu kala. setelah mengalami perkembangan, pada akhirnya Negara-negara kemudian mengkodifikasikan kebiasaan-kebiasaan Internasional yang berkaitan dengan perwakilan diplomatik asing yang di anggap penting pelaksanaannya kedalam Vienna Convention on Diplomatic Relations, 1961, yang kemudian diusul dengan pembentukan Vienna Convention on Consular Relations, 1963 , beserta protocol tambahannya masing-masing.
Di dalam prakteknya untuk menjalankan hubungan diplomatic diperlukan adanya perwakilan diplomatic dari tiap-tiap Negara. perwakilan-perwakilan tersebut akan dipilih oleh Negara yang mengutusnya dan akan menjalankan diplomasi sebagai salah satu cara komunikasi yang biasanya dilakukan antara berbagai pihak termasuk negosiasi antara wakil-wakil yang sudah diakui. [2]
Jika suatu Negara sudah menyetujui pembukaan hubungan diplomatic dengan Negara lain melalui suatu instrument atas dasar timbal balik dan asas saling menyetujui Negara-negara tersebut sudah harus memikirkan pembukaan suatu perwakilan diplomatic dan penyusunan keanggotaan perwakilan tersebut baik dalam tingkatannya maupun jumlah anggota staf perwakilan yang telah disetujui bersama atas dasar kewajaran dan kepantasan. [3]
setelah adanya kesepakatan antara Negara pengirim dengan Negara penerima, kedepannya para wakil yang menjadi pejabat diplomatic, termasuk juga pejabat konsuler diberikan hak kekebalan dan keistimewaan untuk dapat menjalankan tugas atau misinya dengan baik dan tidak menghadapi halangan seperti adanya pencegahan masuknya pejabat-pejabat dari Negara penerima ke dalam gedung diplomatic, kecuali disetujui oleh Kepala misi, kerena dapat dianggap mencampuri urusan Negara pengirim begitu pula sebaliknya[4] , selain itu Negara penerima harus menyediakan sarana yang pantas kepada perwakilan diplomatic asing dinegaranya, kemudian mengijinkan dan melindungi kemerdekaan berkomunikasi pada pihak perwakilan diplomatic asing tersebut agar tidak ada hambatan untuk berkomunikasi dengan pemerintah Negara pengirimnya untuk melaksanakan fungsi-fungsinya[5].

1.2.            RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan Latar Belakang Masalah diatas maka dapat dirumuskan permasalahannya ialah  :
1.        Apakah Yang dimaksud dengan Hubungan Diplomatik Internasional
2.        Bagaimana Pelaksanaan Hukum Diplomatik Internasional
3.        Bagaimana Pembuakaan dan Pemutusan Hubungan Diplomatik
4.        Bagaimana Kekebalan dan keistimewaan Hukum Diplomatik

1.3.            MAKSUD DAN TUJUAN
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka dapat dirumuskan beberapa maksud dan tujuan sebagai berikut :
1.        Menjelaskan Apakah Yang dimaksud dengan Hubungan Diplomatik Internasional ?
2.        Menjelaskan Bagaimana Pelaksanaan Hukum Diplomatik Internasional ?
3.        Menjelaskan Bagaimana Pembuakaan dan Pemutusan Hubungan Diplomatik  ?
4.        Menjelaskan Bagaimana Kekebalan dan keistimewaan Hukum Diplomatik ?
BAB II
PEMBAHASAN

2.1              Pengertian Hukum Diplomatik
Mengenai pengertian Hukum Diplomatik masih belum berkembang. Para sarjana Hukum Internasional masih belum banyak menuliskan secara khusus, karena pada hakekatnya Hukum Diplomatik merupakan bagian dari Hukum Internasional yang sebagian dari sumber hukumnya sama dengan sumber hukum Internasional seperti konvensi-konvensi internasional yang ada. Namun yang ditulis oleh Ellen Denza[6] mengenai “Diplomatik Law” pada hakekatnya hanya menyangkut komentar mengenai Konvensi Wina mengenai Hubungan Diplomatik. Banyak para penulis hanya memberikan batasan dan arti “diplomasi” sendiri, walaupun diantara mereka masih belum ada keseragaman. Adapula pemakaian perkataan “diplomasi” itu secara berbeda-beda menurut penggunaannya, yang meliputi:
1.         Ada yang menyamakan kata itu dengan “politik luar negeri”, misalnya jika dikatakan “Diplomasi” RI di Afrika perlu ditingkatkan”.
2.         Diplomasi dapat juga diartikan dengan “perundingan”, seperti sering dinamakan bahwa “masalah Timur Tengah hanya dapat diselesaikan melalui Diplomasi”. Jadi perkataan diplomasi disini merupakan satu-satunya mekanisme, yaitu melalui perundingan.
3.         Diplomasi dapat juga diartikan sebagai “dinas luar negeri”, seperti ungkapan “selama ini ia  bekerja untuk diplomasi”.
4.         Diplomasi juga diartikan secara kiasan seperti dalam ungkapan: “ia pandai berdiplomasi” yang berarti “bersilat lidah”.
untuk memahami pengertian “Hukum Diplomatik” memang tepat sekali jika membahas pengertian “diplomasi” itu sendiri seperti yang diberikan oleh Satow, Quency Wright dan Harold Nicholson.
Dalam “Random House Dictionary” diplomasi diartikan sebagai “the conduct by Government officials of negotiations and other relations between nations ;the art of science of conducting such negotiations ; skill in managing negotiations, handling of people so that there is little or no ill- will tact” [7].
Dengan adanya berbagai batasan tersebut, arti diplomasi yang disebutkan dalam “Oxford English Dictionary” menurut  Harold Nicholson adalah paling tepat dan luas yaitu :
1.         The  management of internal relation by means of negotiation.[8]
2.         The method by which these relations are adjusted and managed by ambassadors and envoys;
3.         The business or art of the diplomatist;
4.         Skill or address in the conduct of international intercourse and negotiations.
telah diberikan oleh Brownlie [9]
Menurut Osmanczyk : [10]
“Hukum Diplomatik merupakan cabang dari hukum kebiasaan Internasional yang terdiri dari seperangkat aturan-aturan dan norma-norma hukum yang menetapkan kedudukan dan fungsi para diplomat, termasuk bentuk-bentuk organisasional dari dinas diplomatic “
Dengan demikian pengertian Hukum Diplomatik pada hakikatnya merupakan ketentuan atau prinsip-prinsip Hukum Internasional yang mengatur hubungan diplomatik antar Negara yang dilakukan atas dasar permufakatan bersama dan hukum sebagai hasil dari kodifikasi hukum kebiasaan internasional dan pengembangan kemajuan Hukum Internasional.







2.2              Sejarah Perkembangan Hukum Diplomatik
Pesatnya perkembangan teknologi KIE (komunikasi,Informasi,dan Edukasi) dewasa ini, telah memacu semakin intensifnya interaksi antar Negara dan antarbangsa di dunia. Meningkatnya intesitas interaksi tersebut telah memengaruhi kegiatan ekonomi,politik,social,dan budaya kita dengan pihak luar,baik itu dilakukan oleh pemerintah (pusat dan daerah). Organisasi nonpemerintah (Ornop dalam negeri dan NGO’s luar negeri), swasta (perusahaan-perusahaan multinasional), dan perorangan sebagai actor baru dalam hubungan luar negeri. Kenyatan ini menurut tersedianya suatu perangkat ketentuan untuk mengatur interaksi tersebut selain ditujukan untuk melindungi kepentingan Negara dan narga negaranya, serta pada gilirannya memperkokoh Negara kesatuan republik Indonesia.
Sejarah telah mencatat dan membuktikan bahwa jauh sebelum bangsa bangsa di dunia mengenal dan menjalankan praktik hubungan diplomatic, misi diplomatic secara tetap seperti yang ada dewasa ini,di zaman india kuno telah dikenal ketentuan-ketentuan atau kaidah-kaidah yang mengatur hubungan antarraja ataupun kerajaan, di mana hukum bangsa-bangsa pada waktu itu telah menganal pula apa yang dinamakan duta.[11] pengiriman duta duta ke luar negeri sudah dikenal dan dipraktikkan oleh Indonesia, dan Negara-negara Asia serta Arab sebelum Negara-negara Barat mengenalnya. Di benua Eropa, pada abad ke-16 masalah pengiriman duta-duta itu diatur menurut hukum kebiasaan, tetapi hukum kebiasaan internasional menyangkut masalah itu menjadi jelas pada abad ke-19, di mana pengaturan hubungan diplomatik dan perwakilan dimplomatik dimulai dibicarakan pada Kongres Wina 1815, yang diubah dan disempurnakan oleh protocol Aix-La-Chaoelle 1818. Kongres Wina tersebut pada hakikatnya merupakan tonggak sejarah diplomasi modern karena telah berhasil mengatur dan membuat prinsip-prinsip secara sistematis, termasuk kalsifikasi jabatan kepala perwakilan diplomatik dan mengatur prosedur dan mekanisme hubungan diplomatik. Dengan demikian sampai  dengan 1815 ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan hubungan diplomatic sebagian besar bersumber dari hukum kebiasaan.
 kongres 1815, raja-raja yang ikut dalam konferensi itu sepakat untuk mengodifikasikan hukum kebiasaan tersebut menjadi hukum tertulis. Namun, tidak banyak yang telah dicapai, dam mereka hanya menghasilkan satu naskah,yaitu hierarki diplomat (klasifikasi jabatan kepala perwakilab diplomatik) [12]yang kemudian dilengkapi pula dengan Protokol Aix-La-Chapelle tanggal 21 November 1818. Sebenarnya kongres Wina ini dilihat dari substansi, praktis tidak menambah apa-apa terhadap praktik yang sudah ada sebelumnya, yang jelas hanya sebagai uapaya positif mengkodifikasikan praktik-praktik  Negara-negara dalam bidang hubungan diplomatic itu menjadi  hukum tertulis, sehingga lebih terjamin kepastiannya.
Pada tahun 1972, dalam kerangka liga bangsa-bangsa, diupayakan kembali kodifikasi yang sesungguhnya. Namun, hasil-hasil yang dicapai komisi ahli ditolak olehh dewan LBB. Alasannya yaitu, belum waktunya untuk merumuskan kesepakatan umum mengenai hak-hak istimewa dan kekebalan diplomatic yang cukup kompleks. Karena itu memutuskan untuk tidak memasukkan masalah tersebut dalam agenda Konferensi Den  Haag yang diseleggarakan pada 1930 untuk kodifikasi hukum internasional. Di samping itu, di Havana pada 1928 Konferensi ke-6 Organisasi Negara-negara Amerika (OAS) menerima konvensi dengan nama Convention on Diplomatic Officers. Konvensi ini diratifikasi oleh dua belas Negara Amerika, kecuali Amerika Serikat yang hanya menandatangani, tidak meratifikasi karena menolak ketentuan-ketentuan yang menyetujui pemberian suara politik. Mengingat sifatnya yang regional, implementasi konvensi ini tidak menyeluruh.[13]
Pada tahun 1947, Komisi Hukum Internasional yang dibentuk oleh Majelis Umum  PBB atas amanat Pasal 13 Piagam PBB [14]yang berbunyi sebagai berikut.
1.      Majelis Umum akan mengadakan penyelidikan dan mengajukan usulan-usulan (recommendations) dengan tujuan :
a.       Memajukan kerja sama internasional di bidang politik dan mendorong peningkatan dan pengembangan hukum internasional secara progresif dan pebgodifikasiannya;
b.      Memajukan kerja sama internasional di bidang ekonomi,social,kebudayaan,pendidikan,dan bidangh-bidang kesehatan, dan membantu meningkatkan pemahaman atas  hak-hak asasi manusia dan kebebasan dasar bagi semua umat manusia tanpa mebeda-bedakan bangsa,ras,jenis kelamin,bahasa,ataupun agama.”
Komisi Hukum Internasional tersebut menetapkan empat belas topic pembahasan yang di dalamnya juga termasuk topic hubungan diplomatic, terutama mengebai kekebalan dan keistimewaan diplomatik. Namun pembahasan mengenai hubungan diplomatic tidak mendapatkan prioritas. Selanjutnya, karena seringnya terjadi insiden diplomatic sebagai akibat Perang Dingin dan dilanggarnya ketentuan-ketentuan tentang hubungan diplomatik, maka ayas usul delegasi Yugoslavia, Majelis Umum PBB Pada memberikan prioritas untuk melakukan kodifikasi mengenai hubungan dan kekebalan diplomatic.
Pada tahun 1954, komisi mulai membahas masalah-masalah hubungan dan kekebalan diplomatic, dan sebelum akhir 1959 Majelis Umum melalui Resolusi 1450 (XIV) memutuskan untuk menyelenggaran suatu Konferensi Internasional guna membahas masalah-masalah seputar hubungan dan hak-hak kekebalan dan keistimewaan diplomatik. Konferensi tersebut dinamakan “the United Nations Conference on Diplomatic Intercourse and Immunities”, mengadakan sidangnya di Wina pada 2 Maret-14 April 1961. Kota Wina dipilih dengan pertimbangan historis karena kongres pertama mengenai hubungan diplomatik diselenggarakan di kota tersebut pada 1815. Konferensi  menghasilkan instrument-intrumen, yaitu : Vienna Convention on Diplomatic Relations, Optional Protocol Concerning Acquisition of Nationality, dan Optional Protocol Concerning the Compulsory Settelment of Disputes. Diantara ketiga instrument tersebut konvensi Wina tentang hungan Diplomatik (Convention on Diplomatic Relations), 18 April 1961 merupakan yang terpenting.
Konvensi Wina 1961 diterima oleh 72 Negara, tidak ada yang menolak dan hanya satu Negara abstain. Pada 18 April 1961, wakil dari 75 Negara menandatangani konvensi tersebut, yang terdiri dari mukadimah, 53 pasal, dan 2 protokol. Tiga tahun kemudian pada 24 April 1964, konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik ini dinyatakan mulai berlaku. Kini, hamper seluruh Negara di dunia telah meratifikasi konvensi tersebut, termasuk Indonesia yang meratifikasinya dengan UU No.1  Tahun 1982 pada 25 Januari 1982. Pentingnya prinsip-prinsip yang tercantum dalam Konvensi Wina tersebut digarisbawahi oleh Mahkamah Internasional dalam kasus United States Diplomatic and Counsular Staff in Teheran melalui Ordonasinya tertanggal 15 Desember 1979,dan pendapat hukumnya (advisory opinion) tertanggal 24 Mei 1980. Konferensi Wina ini sungguh merupakan kode diplomatik yang sebenarnya. Walaupun hukum kebiaasaan dalam konvensi ini tetap berlaku seperti tersebut dalam alinie terakhir mukadimahnya, tetapi peranannya hanya sebagai tambahan.
Sehubungan dengan itu, perlu diingat bahwa untuk pertama kalinya ada usaha guna mengadakan kodifikasi peraturan-peraturan tentang lembaga konsul, telaj dilakukan dalam Konferensi Negara-Negara Amerika tahun 1928 di Hanava-Cuba, di mana dalam tahun itu juga telah disetujui Convention on Consular Agents( Konvensi mengenai pejabat konsuler). Sesudah itu dirasakan belum ada usaha yang cukup serius untuk mengadakan kodifikasi lebih lanjut tentang peraturan-peraturan tentang hubungan konsuler, kecuali setelah Majelis PBB meminta kepada Komisi Hukum Internasional untuk melakukan kodifikasi mengenai hubungan konsuler.[15]
Pembahasan masalah hubungan konsuler itu dalam Komisi Hukum Internasional telah dimulai sejak 1955, yaitu dengan menunjuk Mr. Zourek sebagai Rapporteur Khususu. Rencana terakhir konvensi mengenai hubungan konsuler telah diajukan kepada Majelis Umum PBB pada 1961. Dengan Resolusi 1685(XVI), Majelis Umum PBB telah menyetujui rancangan yang diusulkan dan memutuskan untuk menyelenggarakan suatu konferensi diplomatik, dan menyetujuinya pada awal 1963. Wakil dari 95 Negara telah berkumpul di ibukota Austria (kota Wina) sejak tanggal 4 Maret s/d 22 April 1963, dan pada 18 April 1963 konferensi teleh menyetujui draft articles final konvensi mengenai hubungan Konsuler, termasuk kedua protocol pilihan sebagaimana juga yang terjadi pada Konvensi Wina mengenai Hubungan Diplomatik.[16] Berbagai persoalan yang menyangkut konsul termasuk peranannya  telah dirumuskan dalam konvensi secara teliti dan rinci, bahkan dianggap lebih panjang dibandingkan dengan Konvensi Wina 1961. Akta finalnya telah ditandatangani pada 24 April 1963, dan dinyatakan berlaku pada tanggal 19 Maret 1967. Ada 117 negara yang sudah meratifikasi dan aksesi. Empat puluh diantaranya telah menjadi pihak dalam Protokol pilihan tentang kewajiban untuk menyelesaikan sengketa. [17]
Konvensi Wina 19863 mengenai Hubungan Konsuler terdiri dari 79 pasal dan digolongkan dalam lima bab, yaitu :
-          Bab Pertama (Pasal 2 – Pasal 27) antara lain mengenai cara-cara dalam mengadakan hubungan konsuler, termasuk tugas-tugas konsul;
-          Bab Kedua (Pasal 28 – Pasal 57) mengenai kekebalan dan keistimewaan yang diberikan bukan saja kepada perwakilan konsulernya, tetapi juga kepada para pejabat konsuler karier serta para anggota perwakilan konsuler lainnya;
-          Bab Ketiga (Pasal 58 - Pasal 67) Khsusus menyangkut ketentuan-ketentuan mengenai lembaga Konsul Kehormatan, termasuk kantornya. Ketentuan-ketentuan dalam bab ketiga ini juga membuat tentang kekebalan dan keistimewaan yang diberikan kepada Konsul Kehormatan dan Kantornya;
-          Bab Keempat (Pasal 68 – Pasal 73) berisi ketentuan-ketentuan umum, antara lain mengenai pelaksanaan tugas-tugas konsuler oleh perwakilan diplomatik, hubungan konvensi ini dengan persetujuan internasional lainnya dan lain sebagainya   
-          Bab Kelima mengenai ketentuan-ketentuan final, seperti Penandatanganan,ratifikasi dan aksesi,mulai berlakunya, dan lain-lain.
Konvensi Wina tersebut dilengkapi dengan konvensi mengenai Misi-misi Khusus (Convention on Special Missions) yang diterima oleh Majelis Umum PBB pada 8 Desember 1969. Konveni mengenai Misi-misi Khusus juga disebut Konvensi New York 1969 ini, telah pula diratifikasi Indonesia dengan UU No.2 Tahun 1982 pada 25 Januari 1982.
            Sebagaimana dikatakan di dalam mukadimahnya, bahwa Konvensi New York 1969 mengenai Misi Khusus ini merupakan pelengkap Konvensi Wina 1961 dan 1963, dan dimaksudkan dapat menjadi sumbangan bagi pengembangan hubungan bak semua negara, baik sistem perundang-undangannya maupun sistem sosialnya. Konvensi New York 1969 beserta Protokol Pilihannya mengenai kewaiban untuk menyelesaikan pertikaian yang sudah berlaku sejak 21 Juni 1985, telah diratifikasi oleh lebih dari lima puluh negara sampai dengan 31 Desember 2004, 23 di antaranya telah menjadi pihak Optional Protocol.
      Hukum diplomatik telah mencatat kemajuan lebih lanjut dengan secara khusus melalui sebuah konvensi, suatu kewajiban yang penting bagi negara penerima untuk mencegah setiap serangan yang ditujukan kepada seseorang, kebebasan dan kehormatan para diplomat, serta untuk melindungi gedung perwakilan diplomatik. Dalam sidangnya yag ke-24 pada 1971, sehubungan dengan meningkatnya kejahatan yang dilakukan yang dilakukan terhadap misi diplomatik, termasuk juga para diplomatnya, dan perlunya untuk menghukum para pelanggar, Majelis Umum PBB telah meminta Komisi Hukum Internasional mempersiapkan draft artikel mengenai pencegahan dan penghukuman kejahatan-kejahatan yang dilakukan terhadap orang-orang yang dilindungi secara hukum internasional. Konvensi New York mengenai pencegahan dan penghukuman kejahatan yang terhadap orang-orang uang menurut Hukum Internasional dilindungi, termasuk para diplomat 1973 ini akhirnya telah disetujui oleh Majelis Umum PBB di New York pada 14 Desember 1973, dengan Resolusi 3166 (XXVII).[18] Konvensi ini kemudian diberlakukan pada 2 Februari 1977, dan sekarang telah tercatat sekitar 79 negara yang menjadi anggotanya.
      Konvensi mengenai Keterwakilan Negara dalam Hubungannnya dengan Organisasi Internasional yang bersifat Universal
            Konvensi ini dikenal sebagai Konvensi Wina 1975 yang juga merupakan sumbangan yang penting bagi pengembangan kodifikasi hukum diplomatik. Urgensi perumusan konvensi sebenarnya didorong oleh adanya situasi di mana pertumbuhan organisasi intenasional yang begitu cepat, baik jumlahnya maupun lingkup masalah hukumnya yang timbul akibat hubungan negara dengan organisasi internasional. Perumusan konvensi tersebut tidak seperti dalam Konvensi Wina 1961 karena melibatkan tiga aspek hukum, yaitu bukan hanya organisasi intenasional dan negara-negara anggotanya, melainkan juga negara tuan ruma tempat markas besar organisasi itu berada. Situasi  yang sangat kompleks seperti ini benar-benar memerlukan hak dan kewajiban dai pihak yang sangat adil dan memadai.
            Sejak dimajukannya masalah ini kepada Komisi Hukum Internasional untuk pertama kalinya pada 1958, barulah pembahasan secara subtantif dapat dilakukan pada 1968, di mana Reporter Khusus yang ditugasi untuk menangani masalah ini dapat melaporkan tentang draft articles yang lengkap dengan komentar mengenai status hukum bagi wakil-wakil negara dalam organisasi internasional. Komisi Hukum Internasional kemeudian menyetujui draf articles sebanyak 21 pasal dengan komentar mengenai ruang lingkup dan hal-hal lainnya yang menyangkut draft articles secara keseluruhan, termasuk Perwakilan Tetap pada organsasi internasional secara umum. Selama 1969 dan 1970, setelah melanjutkan pembahasan mengenai topik tersebut, Komisi Hukum Internasional telah menyetujui beberapa draft articles lagi tentang kekebalan, keistimewaan, dan fasilitas diplomatik bagi perakilan tetap, termauk kedudukan,kekebalan,keistimewaan, dan kemudahan bagi Perwakilan Peninjau Tetap, serta delegasi ke berbagai badan dan konferensi.[19] Dalam perkembangannya, terdapat permasalahan baru dalam persidangan 1971 dimana telah dimajukan tiga masalah, yaitu;
1.             Dampak yang mungkin terjadi dalam keadaan yang luar biasa seperti adanya pengakuan, putusnya hubungan diplomatik dan konsuler, atau adanya pertikaian bersenjata di antara anggota-anggota organisasi internasional sendiri;
2.             Perlu dimasukkannya ketentuan-ketentuan mengenai penyelesaian sengketa;dan
3.             Delegasi peninjau dari negara-negara ke berbagai badan dan konferensi.
Akhirnya pada 1972 Majelis Umum PBB memutuskan untuk menyelenggarakan Konferensi Internasional sesegera mungkin. Kemudian pada 1973, Majelis Umum memberikan waktu agar konferensi semacam itu dilakukan pada permulaan tahun 1975 di Wina,Austria sejak 4 Februari – 14 Maret 1975 yang dihadiri oleh 81 negara, 2 negara peninjau, 7 badan khusus, 3 oganisasi Antar Pemerintah, dan 7 wakil dari Organisasi Pembebasan Nasional yang diakui oleh Organisasi Persatuan Afrika atau Liga Arab. Konferensi kemudian menyetujui konvensi tersebut yang terdiri dari 92 pasal dan terbuka untuk penandatanganan sejak 14 Maret 1975 s.d. 30 September 1975 di Kementrian Luar Negeri Austria, kemudian diperpanjang s.d 30 Maret 1976 di PBB New York.

2.3              Sumber Hukum Diplomatik
Bahwa hukum diplomatik merupakan bagian dari hukum internasional  . Bagaimana hukum  diplomatik ini diciptakan sedangkan terdapat badan pembuat hukum bagi masyarakat internasional. Barangkali hanya Majelis Umum Perserkatan Bangsa-Bangsa saja selama ini yang telah mengesahkan semua rancangan konvensi mengenai peraturan-peraturan hukum diplomatic yang dikembangkan dan dikodifikasi oleh Komisi Hukum Internasional (International Law Commision =I L C).
Dalam membahas sumber hukum diplomatik sebagaimana bahasan terhadap sumber-sumber dari setiap sistem hukum, tidak dapat dipisahkan dari apa yang telah tersebut dalam Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional. bahwa :
“Bagi Mahkamah Internasional yang tugasnya memberikan keputusan sesuai dengan Hukum Internasional, terhadap perselisihan-perselisihan yang diajukan kepadanya akan berlaku :
a.         Perjanjian-perjanjian Internasional, baik yang bersifat umum maupun khusus, yang dengan tegas menyebutkan ketentuan-ketentuan yang diakui oleh Negara-negara yang bersengketa;
b.        Kebiasaan-kebiasaan Internasional yang terbukti merupakan praktek umum yang diakui sebagai hukum;
c.         Prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradap, dan
d.        Keputusan pengadilan dan ajaran-ajaran sarjana-sarjana yang paling terkemuka dari berbagai Negara didunia sebagai sumber tambahan bagi menetapkan kaedah-kaedah hukum.
Mengenai peraturan-peraturan yang ditegaskan dalam Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional ini yang oleh Mochtar Kusumaatmadja disebutnya sebagai sumber hukum formil.[20] Konvensi Internasional yang juga merupakan perjanjian internasional dalam arti umum, pada hakekatnya melibatkan banyak Negara sebagai pihak karena itu lazim dikatakan orang perjanjian yang bersifat multilateral, sedangkan dalam arti tertentu tidak lain merupakan perjanjian dimana hanya beberapa Negara saja yang menjadi pihak , jika hanya terdiri dari dua pihak, maka konvensi itu bersifat Bilateral seperti “perjanjian Ekstradisi antara Kerajaan Thailand dan Republik Indonesia, antara Republik Indonesia dengan Malaysia,[21] dan sebagainya. Terdapat pula Perjanjian yang bersifat bilateral lain seperti “Treaty of Ekstradition and Consular” antara Amerika Serikat dan Sri Langka. Sekarang bagaimana hubungan antara konvensi atau perjanjian yang bersifat multilateral dengan perjanjian bilateral, sebagaimana hubungan konsuler yang dilakukan oleh Amerika Serikat dan Sri Langka tersebut
Lebih dari 150 tahun telah banyak dicapai perjanjian-perjanjian yang menciptakan hukum. Khususnya dalam rangka hukum diplomatic adalah sebagai berikut :
1.        The final Act of the Congres of Vienna (1815) in diplomatic ranks,
2.        Vienna Convention on diplomatic Relations and optional protocols (1961), termasuk didalamnya :
a.       Vienna convention on Diplomatic Relations;
b.      Optional Protocol Concerning Acquisition of nationality;
c.       Optional Protocol Concerning the Compulsory Settlement of Disputes.
3.        Vienna Convention on Consular Relations and Options Protocols (1963), yang memuat :
a.       Vienna Convention on Consular Relations;’
b.      Optional Protocol Concerning Acquisition of Nationality
c.       Optional Protocol Concerning the Compulsory Settlement of Disputes.
4.        Conventions on Special Mission and Optional Protocol (1969) yang didalamnya termuat :
a.       Convention on Special Mission;
b.      Optional Protocol Corcerning the Compulsory Settlement of Disputes.
5.        Convention on the Prevention and Punishment of Crimes against Internationally Protected Persons, including Diplomatic agents (1973)
6.        Vienna Convention on the Representation of States in their Relations with International Organization of a Universal Character (1975).
   Disamping konvensi-konvensi tersebut terdapat pula Resolusi atau Deklarasi yang dikeluarkan, terutama oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa yang menimbulkan permasalahan. Secara tradisional Resolusi dan Deklarasi yang tidak memiliki sifat-sifat seperti perjanjian haruslah dianggap tidak mempunyai kekuatan hukum, karena itu tidak menciptakan hukum. Di lain pihak nampaknya kini berkembang adanya kecenderungan “teori” dari kesepakatan sampai kepada konsensus yang menjadi dasar bagi Negara-negara akan terikatnya kewajiban-kewajiban hukum.[22]
Adanya kekuatan yang mengikat bagi sesuatu Resolusi memang masih belum jelas batasannya. Menjadi persoalan apakah suatu resolusi yang disetujui secara mayoritas Negara anggotanya mempunyai kekuatan yang mengikat ?Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa bukanlah badan yang berwenang menciptakan hukum. Resolusi yang dihasilkan dengan jalan berwenang menciptakan hukum. Resolusi yang dihasilkan dengan jalan  biasa tidak akan menjadikan, merumuskan atau mengubah resolusi itu menjadi hukum internasional baik secara maju atau surut.Didalam hal-hal yang luar biasa dimana resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan hukum internasional, dapat dianggap mempunyai kekuatan mengikat jika resolusi itu menciptakan hukum atau menyatakannya sebagai hukum dan jika isi resolusi itu tercermin didalamnya kebiasaan-kebiasaan umum yang diakui oleh Negara-negara merdeka.
Mengenai kebiasaan Internasional (Internasioanal costum) sendiri sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional, dianggap sebagai kenyataan dari praktek-praktek umum yang diterima sebagai hukum. Namun dasar hukum dari kebiasaan Internasional ini sebelumnya banyak menimbulkan pertentangan, terutama bagi Negara-negara yang baru merdeka. Pada waktu masalah ini diperdebatkan di Komisi Hukum Internasional dan Komite VI Statuta Komisi Hukum Internasional telah disepakati besama-sama [23]
Disamping kebiasaan dan perjanjian yang keduanya dapat merupakan sumber pokok dari hukum diplomatik, masih ada sumber lainnya yang bersifat subsidair, seperti prinsip-prinsip umum dalam hukum yang diakui oleh Negara-negara dan keputusan-keputusan Mahkamah. Khusus mengenai Keputusan Mahkamah ini hakekatnya tidak mempunyai kekuatan mengikat kecuali bagi pihak-pihak tertentu terhadap sesuatu kasus.

2.4              Pelaksanaan Hukum Diplomatik
Sejak dekade delapan puluhan bahwa laju tindakan terorisme cukup menonjol, khususnya yang dilakukan terhadap diplomat merupakan tidakan yang sangat meresahkan dan membahayakan keselamatan para agen diplomatic dalam melaksanakan tugas sebagai diplomat.
Resolusi-resolusi antara lain mendesak kepada semua anggota PBB untuk mematuhi dan melaksanakan prisip-;prinsip hukum internasional yang mengatur hubungan diplomatic dan konsuler.
Maksud dari Resolusi Majelis Umum PBB No. 36/165/29 Januari 1980, terdapat 3 kewajiban Negara-negara anggota PBB sebagai berikut :
-          Majelis Umum PBB meminta kepada semua Negara anggotanya untuk sesegera mungkin memberitahukan kepada sekjen apabila terjadi tindakan terorisme yang ditujukan terhadap agen diplomatic dan konsuler termasuk perwakilannya ;
-          Negara- Negara anggota diminta pula untuk melaporkan kepada Sekjen tentang langkah-langkah yang telah dilakukan untuk menghukum para pelanggar, dan upaya-upaya pencegahan agar tidak terjadi tindakan terorisme ;
-          Negara-negara anggota juga diminta untuk memberikan pandangan dan sikap mereka tentang tindakan maupun langkah-langkah yang diambil ke depan demi melindungi perwakilan diplomatic dan konsuler asing di negaranya ;  [24]

Dalam hukum diplomatik ketentuan tidak dapat diganggu gugat invioliability, atau hak-hak istimewa dan kelonggaran diplomatic dikenal sebagai hak atas perlindungan right to protection bagi agen diplomatik yang berada di Negara penerima.

2.5              Pembukaan dan Pemutusan Hubungan Diplomatik
a.         Pembukaan Hubungan Diplomatik
Bahwa setiap Negara berdaulat memiliki hak Legasi yang aktif yaitu hak suatu Negara untuk menetapkan accreditation wakiknya ke Negara penerima, atau hak legasi Pasif, yaitu kewajiban untuk menerima wakil-wakil Negara asing. sebagai landasan Yuridis untuk membuka hubungan diplomatic antarnegara, ketentuan Pasak 2 Konvensi Wina 1961 yang menggariskan :
“Pembukaan hubungan diplomatic antara Negara-negara dan pembukaan perwakilan diplomatik tetap dilakukan atas dasar kesepakatan bersama secara timbal-balik“. Di Indonesia berdasarkan Pasal 9 Ayat (2) UU No. 37/1999 tentang Hubungan Luar negeri, pembukaan hubungan diplomatic dan pembukaan kantor perwakilan diplomatic ditetapkan dengan keputusan presiden. dapat ditambahkan disini bahwa prinsip kesepakatan bersama yang terdapat dalam konvensi merupakan hasil kompromi rasional yang sepenuhnya sesuai dengan prinsip pembatasan kedaulatan harus disetujui Negara bersangkutan.
Dalam hukum internasional public sudah ada penerimaan umum bahwa kunci pembukaan hubungan diplomatic itu berasal dari pengakuan sebagai suatu Negara yang berdaulat dari Negara-negara atau pemerintah yang telah merdeka dan berdaulay lainnya terlebih dahulu. [25] dalam prakteknya suatu Negara memberi pengakuan terlebih dahulu, kemudian membuka hubungan diplomatic. dapat juga terjadi bahwa pengakuan sekaligus merupakan pembukaan hubungan diplomatic.
b.        Klasifikasi Pangkat dan Gelar Pejabat Diplomatik
ü  Kongres Wina 1815
Menurut ketentuan Regulation of Vienna, perwakilan Diplomatik dibagi dalam tiga golongan, yaitu :
1.      duta besar beserta perwakilan kursi suci (Papal Lagates and Nancios) ;
2.      duta besar luar biasa dan berkuasa penuh (Ministers, Plenipotentiary and Envoys Extraordinary) ;
3.      Kuasa Usaha (Charges d’affaires).
Penggolongan atau klasifikasi jabatan perwakilan diplomatic ini, tampaknya tidak lain hanya didasarkan atas perbedaan fungsi yang dijalankan setiap golongan jabatan perwakilan diplomatic. [26]

c.         Misi Diplomatik
Misi diplomatik adalah suatu misi diploimatik terdiri atas seorang wakil diplomatic yang dikirim oleh suatu Negara dan diterima oleh Negara lain, bersama staffnya (kalau ada) dan dirikan di ibukota negara penerima.
Fungsi atau tugas misi akan Nampak pada strukturnya dan pola berikut tetap benar. Meskipun demikian, tidak menurutup kemungkinan bisa saja terjadi dalam beberapa dalam beberapa hal hanya dikerjakan oleh satu orang.
-          Kepala Misi
-          Kantor Keduataan
a.       Administrasi dan koordinasi
b.      Sekretariat dan Arsip
c.       Komunikasi dan jasa teknik lain
d.      Staf Lokal
e.       Akunting
-          Bagian perdagangan
-          Bagian Konsuler
-          Bagian Pers dan Informasi
-          Dinas Khusus Militer dan dinas khusus lainnya
d.        Pengangkatan dan Penerimaan Kepala Perwakilan Diplomatik
 Pengangkatan seorang duta besar biasanya dilakukan atas nama kepala Negara. Calon-calon duta besar diajukan oleh Menteri luar negeri kepada kepala Negara untuk mendapatkan persetujuannya. Cara pemilihan dan praktik yang berlaku tidak selalu sama dengan di setiap Negara, bergantung pada system dan praktik yang berlaku di suatu  Negara. Dapat terjadi pemilihan calon ditentukan oleh cabinet atau hanya oleh  kementerian luar negeri setelah memperhatikan berbagai faktor. Di Amerika Serikat pengangkatan seorang duta besar harus mendapat persetujuan dari senat.
Negara penerima berhak menolak seorang calon, apakah didasarkan atas perilaku atau kebijakan profesionalnya di masa lalu. dapat terjadi seorang calon duta besar mempunyai sikap dan pandangan yang tidak berdahabat terhadap Negara penerima dan dalam hal ini pencalonannya dapat ditolak. Demikian juga halnya dengan calon tersebut terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang antinegara penerima. Bila ditolak, Negara penerima tidak harus memberi alasan mengenai penolakan tersebut, lazimnyha penolakan itu bukan dalam bentuk komunikasi resmi, tetapi hanya  dalam bentuk isyarat secara halus.

1.        Pengangkatan Staff Perwakilan Diplomatik
Sesuai Pasal 7 Konvensi Wina 1961, Negara pengirim dapat dengan bebas mengangkat anggota-anggota staf perwakilan. Ketentuan Pasal 7 ini merupakan penekanan terhadap prinsip umum hukum internasional bahwa pengangkatan staf perwakilan kecuali duta besar tidak memerlukan persetujuan Negara penerima.
Menganai atase-atase militer, permintaan persetujuan kepada Negara penerima tidak mutlak diperlukan.[27]

2.        Penentuan Besarnya Staf Perwakilan Diplomatik
Setelah adanya kesepakatan bagi pembukaan misi diplomatic tetap, maka terserah bagi Negara pengirim untuk menentukan besarnya perwakilan, yaitu jumlah pejabat dan staf yang harus ditempatkan di Negara penerima atas dasar volume pekerjaan yang terjadi sejak beberapa dekade terakhir adalah meningkatnya jumlah staff perwakilan yang disebabkan berbagai faktor sehingga menimbulkan kesulitan bagi Negara penerima terutama Negara-negara kecil. Dalam Delegasi Amerika Serikat berpendapat bahwa pembatasan jumlah staf boleh dilakukan tetapi atas dasar prinsip resiprositas..
tetapi dalam praktiknya pembatasan jumlah maksimum diberlakukan bila terbukti suatu perwakilan terlibat dalam kegiatan spionase atau terorisme merupakan kebijakan-kebijakan Negara maju.[28]

3.        Persona Non-Grata
Berdasarkan Pasal 9 ayat (1) Konvensi Wina 1961 dapat ditegaskan bahwa negara penerima setiap saat dan tanpa penjelasan dapat memberitahu negara pengirim bahwa kepala perwakilan ataupun salah seorang anggota staf diplomatic adalah Persona Non-grate, kerena itu Negara pengirim harus memanggil pulang atau mengakhiri fungsinya di perwakilan. Dapat juga seseorang dinyatakan sebagai orang yang tidak disenangi (non-grate) atau tidak dapat diterima sebelum tiba di wilayah Negara penerima.
Selanjutnya dalam Ayat (2) dinyatakan, bila Negara pengirim menolak atau tidak mampu dalam jangka waktu yang pantas melaksanakan kewajibannya, Negara penerima dapat menolak untuk mengakui pejabat yang bersangkutan sebagai anggota perwakilan.
Pernyataan Persona non-grate ini menjadi bahan perdebatan yang panjang dan menarik, apakah suatu Negara berkewajiban memberikan alasan untuk tindakannya menyuruh dipanggil pulang atau recall atau memulangkan atau deportation seoranhg diplomat. Negara pengirim yang diplomatnya diusir selalu meminta penjelasan. Karena penjelasan itu selalu dijawab secara diplomatis. Akhirnya Konvensi Wina dapat mengakhiri perdebatan tersebut dan seperti terumus dalam Pasal 9 bahwa neraga penerima dapat menyatakan Persona non-grate tanpa harus memberikan penjelasan / alasan kepada Negara pengirim.
Deklarasi persona non-grate yang dikenakan kepada seorang duta besar, termasuk anggota staf misi diplomatik lainnya, khususnya terhadap mereka yang sudah tiba atau berada dinegara penerima, melibatkan pada tiga kegiatan yang dinilai bertentangan dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik yaitu :
-          Kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh para diplomat asing yang dianggap mencapuri urusan dalam negeri Negara-negara penerima (bersifat politis/subversive) dan bukan saja dapat merugikan kepentingan nasional tetapi juga melanggar kedaulatan suatu Negara penerima ;
-          Kegiatan-kegiatan yang dilakukan itu sudah jelas melanggar hukum dan peraturan-peraturan perundang-undangan lainnya dinegara penerima ;
-          Kegiatan-kegiatan yang dapat dikategorikan sebagai kegiatan spionase yang dapat dianggap menggangu, baik stabilitas maupun keamanan nasional, Negara penerima.
Kegiatan-kegiatan yang dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang bersifat politis atau subversive, sudah jelas bertentangan dengan ketentuan konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik yang berbunyi :
“Tanpa berprasanka para Diplomat yang menikmati kekebalan dan keistimewaan, berkewajiban untuk menghormati hukum dan peraturan perundang-undangan Negara penerima. Mereka juga berkewajiban untuk tidak mencampuri urusan dalam negeri Negara penerima.”
Pelanggaran terhadap ketentuan ini seperti tindakan-tindakan yang bersifat politis ataupun subversive dapat mengakibatkan seorang diplomat dinyatakan persona non-grate, dan harus segera meninggalkan Negara penerima. [29]

2.6              Tugas dan Fungsi Perwakilan Diplomatik
Tugas dan fungsi suatu Perwakilan diplomatik adalah :
a.             Representasi
Fungsi perwakilan diplomatik, sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 3 ayat (1,a) konvensi Wina 1961 bahwa “mewakili Negara pengirim di Negara penerima” (Representing the sending State in the receiving State).
Ada beberapa batasan mengenai fungsi representative, antara lain dikemukakan oleh Gerhard Von Glahn dalam bukunya “ Law among Nations”.[30], bahwa :
“Seorang wakil diplomaatik itu selain mewakili pemerintah Negaranya, ia juga tidak hanya bertindak di dalam kesempatan ceremonial saja, tetapi juga melakukan protes atau mengadakan penyelidikan (inquiries) atau pertanyaan dengan pemerintah Negara penerima. Ia mewakili kebijaksanaan politik pemerintah negaranya.”
Bagi Indonesia, pemerintah kita ada juga memberikan batasan-batasan tentang tugas dan fungsi mewakili tersebut yaitu “mewakili Negara Republik Indonesia secara keseluruhan di Negara penerima atau organisasi internasional.[31]

b.             Proteksi
Dalam konvensi Wina 1961 ditegaskan bahwa perwakilan diplomatik itu berfungsi melindungi kepentingan-kepentingan Negara pengirim serta warga negaranya di dalam wilayah dimana ia diakreditasikan dalam batas-batas yang diperkenankan oleh hukum Internasional. Perlindungan itu pula harus diberikan oleh Negara penerima, bahkan Negara ketigapun harus memberikan perlindungan juga kepada para pejabat diplomatic jika mereka in transit di Negara ketika tersebut. [32]
Masyarakat internasional menganggap perlu diadakan usaha-usaha untuk melengkapi ketentuan-ketentuan Internasional yang ada, agar dapat menjamin perlindungan, keselamatan dan pengamanan bagi wakil-wakil Negara, khususnya usaha yang dianggap penting untuk memusatkan perhatian kepada tanggung jawab internasional bagi Negara-negara pelanggarnya.[33]

c.              Negosiasi
Dalam hukum internasional hubungan antar Negara dinamakan “negotiation” . Negotiation atau perundingan ini dapat diadakan antara dua negara atau lebih. Yang dapat turut serta dalam perundingan itu pada umumnya adalah Negara-negara bedaulat, tetapi sebagai pengecualian dapat diizinkan pula turut serta Negara-negara yang belum merdeka dan berdaulat penuh, seperti yang pernah terjadi dahulu, dimana sesudah perang dunia ke II, India diperkenankan turut serta dalam perundingan konferensi “San Fransisco” pada tahun 1945. [34]
Dalam hal mengadakan perundingan, maka pejabat-pejabat diplomatik menurut Pasal 3 ayat (1,c) Konvensi Wina 1961, ditentukan bahwa, perundingan dengan pemerintah Negara penerima (negotiating with the government of the receiving State).
Perundingan-perundingan yang dimaksud merupakan salah satu fungsi diplomatik dalam mewakili negaranya. Namun sering perundingan mengenai masalah tertentu dilakukan oleh utusan-utusan khusus, terutama jika hal tersebut mengenai teknis.Dengan demikian dapat pula tegaskan bahwa maksud diadakannya perundingan, baik antara negara pengirim dan Negara penerima bahkan dapat pula Negara ketiga ialah beraneka macam adanya, dari maksud untuk pertukaran pendapatan (Exchange of views) tentang suatu masalah politik,ekonomi, social atau kebudayaan dan ilmu pengetahuan sampai kepada maksud untuk mengadakan persiapan ataupun persetujuan.




d.             Pelaporan
Kewajiban membuat laporan bagi perwakilan diplomatik memang sudah ditentukan oleh konvensi Wina 1961,[35]) dimana ditegaskan bahwa “memberikan laporan kepada Negara pengirim mengenai keadaan-keadaan dan perkembangan-perkembangan Negara penerima, dengan cara-cara yang dapat dibenarkan oleh hukum.”
Tugas pelaporan ini merupakan suatu hal yang utama bagi perwakilan diplomatik di Negara penerima, termasuk di dalam tugas observasi secara seksama atas segala peristiwa yang terjadi di Negara penerima. Perlunya adalah demi memperlancar pengurusan kepentingan Negara.
Dasar dari kiewajiban seseorang diplomat adalah memberikan laporan kepada pemrintahnya mengenai kebijaksanaan-kebijaksanaan politik dan peristiwa-peristiwa lainnya yang ada di Negara dimana ia diakreditasikan kepada pemerintah negaranya. Asalkan dalam hal membuat laporan ini wakil tersebut bukanlah seorang spionase.

e.              Peningkatan Hubungan Persahabatan antara Negara
Fungsi diplomatik yang tidak kalah pentingnya adalah meningkatkan hubungan antar Negara, hal ini sudah dijanjikan oleh konvensi wina 1961 [36] ) yang menentukan bahwa; “meningkatkan hubungan-hubungan persahabatan antara Negara penerima dan Negara pengirim, dan mengembangkan hubungan-hubungan ekonomi, kebudayaan serta ilmu pengetahuan diantara mereka.”
Menjadi tugas perwakilan diplomatik untuk selalu berusaha dan menjaga hubungan antara Negara pengirim dan Negara penerima. Usaha-usaha peningkatan dilakukan dengan berbagai macam cara diplomasi. Cara-cara diplomasi dimaksud, menurut Jono Hatmodjo ada empat macam [37]) yaitu :
a.       Diplomasi Politik;
b.      Diplomasi Ekonomi;                     
c.       Diplomasi social-budaya dan penerangan;
d.      Diplomasi Hankam.
Hal-hal tersebut adalah merupakan instrument politik luar negeri. Kemudian ada pula pendapat lain mengatakan bahwa fungsi lainnya dari seseorang wakil diplomatik dalam meningkatkan hubungan persahabatan antar rakyat Negara pengirim dan rakyat Negara menerima secara luas..
Bahwa mengenai fungsi perwakilan diplomatik menurut konvensi Wina1981 ini ternyata cukup mengikat dalam Pasal 3 konvensi wina 1961dalam menentukan fungsi-fungsi perwakilan diplomatic menggunakan istilah “consist inter alia in”, ini maksudnya adalah ingin menunjukkan bahwa pasal-pasal yang bersangkutan tidak mencakup semua tuga-tugas perwakilan diplomatik.

2.7              Hak dan Kewajiban Pejabat Diplomatik
a.       Kekebalan Pribadi
Negara penerima mempunyai kewajiban membuat peraturan-peraturan atau mengambil langkah-langkah untuk melindungi para diplomat asing dalam Pasal 29 Konvensi Wina 1961 berbunyi :
Artinya “Pejabat diplomatic tidak dapat diganggu gugat, tidak boleh ditangkap dan ditahan. mereka harus diperlakukan dengan penuh hormat di Negara penerima harus mengambil langkah-langkah yang layak untuk mencegah serangan atas dirinyam kebebasan dan martabatnya,”
b.      Kebebasan Yurisdiksional
Akibat yang paling penting adalah tidak boleh diganggu gugatnya seorang diplomartik adalah hak untuk bebas dari yurisdiksi Negara penerima sehubungan dengan masalah-masalah criminal. jadi dapat dikatakan bahwa kekebalan para diplomat bersifat mutlak dan dalam keadaan apa pun mereka tidak boleh diadili ataupun dihukum. [38]
c.       Penaggalan Kekebalan
Pasal 32 Konvensi Wina berisikan ketentuan-ketentuan tentang penganggalan kekebalan dari kekuasaan hukum. disebutkan bahwa kekebalan dari kekuasaan bukan pejabat diplomatic dan orang-orang yang menikmati kekebalan seperti tersebut dalam Pasal 37 dapat ditanggalkan oleh Negara pengirim. Selanjutnya dijelaskan pula penaggalan tersebut harus selalu dinyatakan dengan jelas Contoh kasus penanggalan kekebalan dari kekuasaan hukum yaitu :pada tahun 1992 Pemerintah Thailand menaggalkan kekebalan seorang sekretaris dua Kedutaan Besarnya di London yang terlibat dalam penyulundupan Heroin, setelah kekebalannya ditanggalkan dia diadili dan dihukum penjara selama 20 Tahun.[39]
d.      Pembebasan Pajak
para pejabat diplomatic tidak membayar pajak Negara akreditasi karena dari segi prinsip pembayaran pajak merupakan kepatuhan dan keterikatan kepada Negara, Pajak-pajak hanya dipungut oleh Negara terhadap warga negaranya dan orang-orang asing bukan diplomat yang berdiam di Negara tersebut atas dasar prinsip kedaulatan territorial [40].
e.       Hak-hak istimewa dan kekebalan Anggota-anggota Perwakilan lainnya dan Pembantu Rumah Tangga
Dalam Pasal 37 Konvensi Wina 1961 Anggota-anggota staf pembantu perwakilan yang bukan warga Negara setempat memperoleh kekebalan-kekbalan sehubungan dengan tindakan-tindakan yang dilakukan dalam rangka tugasnya dan juga bebas dari pungutan dalam pajak –pajak atas pendapatan yang mereka terima, mengenai pembantu rumah tangga anggota-anggota perwakilan dibebaskan dari pungutan dan pajak dengan pengertian mereka bukan warga Negara setempat. mereka juga dapat memperoleh hak-hak istimewa dan kekebalan-kekebalan sejauh yang diperolehkan Negara penerima [41].

2.8              Landasan Yuridis Pemberian Kekebalan dan Keistimewaan Diplomatik
Adanya pemberian kekebalan dan keistimewaan bagi para pejabat diplomatic pada hakikatnya merupakan hasil sejarah dunia diplomasi yang dianggap sebagai kebiasaan hukum Internasional. Sesuai dengan aturan-aturan kebiasaan dalam hukum Internasional. terdapat tiga teori mengenai landasan hukum pemberian kekebalan dan keistimewaan dipomatik di luar negeri, yaitu sebagai berikut.[42]

a.        Teori Eksterritorialitas (Exterritoriality Theory)
Menurut teori ini seorang pejabat diplomatic dianggap seolah-olah tidak meninggalkan negaranya, ia berada diluar wilayah Negara penerima, walaupun kenyataannya ia sudah jelas berada di luar negeri sedang melaksanakan tugas-tugasnya di Negara dimana ia ditemparkan.
meskipun demikian, dalam praktiknya teori eksterritorialitas ini mendapat kritikan dari banyak pihak karena dianggap tidak realistis. Teori ini hanya didasarkan pada suatu fiksi dan bukan realita yang sebenarnya karena itu tidak diterima masyarakat internasional.

b.        Teori Representatif
Teori kedua bahwa baik pejabat diplomatic maupun perwakilan diplomatic, mewakili Negara pengirim dan kepala negaranya. Memberikan hak-hak istimewa dan kekebalan-kekebalan kepada pejabat-pejabat diplomartik asing juga berarti bahwa Negara pengirim, kebesaran, kedaulatan, serta kepala Negara-negara. Teori ini berasal dari era kerajaan masa lalu dimana Negara penerima memberikan semua hak, kebebasan, dan perlindungan kepada utusan-utusan raja sebagai penghormatan terhadap raja itu sendiri. Namun seperti halnya dengan teori eksterritorialitas, pemberian hak-hak istimewa dan kekebalan diplomatik ini tidak mempunyai batas yang jelas dan menimbulkan kebingungan hukum.

c.         Teori Kebutuhan Fungsional (Functional Necessity Theory)
Teori ini mengajarkan bahwa hak-hak istimewa dan kekebalan-kekebalan diplomatik dan misi diplomatik hanya didasarkan pada kebutuhan-kebutuhan fungsional agar para pejabat diplomatik dapat melaksanakan tugasnya dengan baik dan lancer.
Dalam mukadimah Konvensi Wina 1961 tentang hubungan diplomatik dirumuskan: “bahwa tujuan pemberian kekebalan dan keistimewaan tersebut bukan untuk menguntungkan orang perseorangan, tetapi untuk menjamin pelaksanaan yang efisien fungsi-fugsi diplomatik sebagai wakil Negara.


2.9              Konvensi Wina Tentang Hubungan Diplomatik
Konsiderans Konvensi Wina tentang Hubungan Diplomatik serta Protocol Opsionalnya[43]
Negara-negara peserta Konvensi sekarang ini,
Mengingat, bahwa semua rakyat bangsa-bangsa sejak zaman purbakala mengakui status wakil diplomatic,
Mempertimbangkan tujuan dan Pokok Piagam Perserikatan Bangsa-bangsa tentang persamaan kedaulatan Negara-negara, pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional dan peningkatan hubungan persahabatan antar bangsa-bangsa,
Percaya, bahwa Konvensi Internasional mengenai hubungan diplomatik, hak-hak istimewa dan kekebalan diplomatic akan memberikan sumbangan terhadap perkembangan hubungan persahabatan antar bangsa-bangsa,
Menyadari, bahwa tujuan hak-hak istimewa dan kekebalan tidak dimaksud untuk memberi keuntungan kepada pribadi orang tetapi menjaga tepat guna pelaksanaan tugas-tugas misi diplomatic dalam mewakili Negara-negara,
Memperkuat,bahwa peraturan-persaturan hukum internasional harus tetap mengatur persoalan-persoalan yang tidak diatur oleh Pasal-Pasal konvensi sekarang ini,

2.10          Penanganan Masalah-masalah Regional Internasional
            Intervensi militer Vietnam di Kampuchea telah menjadikan kawasan Asia tenggara sebagai daerah yang lebih rawan dan eksplosif karena kelibatkan secara langsung kekuatan besar Uni Soviet dan RRC. Gejolak Indocina telah memaksa Negara-negara ASEAN untuk memperhitungkan bersama gejala implikasinya, terutama karena pertimbangan salah satu anggotanya Muangthai dapat terlibat secara langsung dan karena perhitungan bahwa dikuasainya Indocina oleh satu ideologi aggressip (komunisme) dapat merupakan jembatan penetrasi kea rah selatan. Penolakan campurtangan militer Vietnam di Kampuchea telah mendapat dukungan mayoritas PBB sebagaimana tercermin dengan diterimanya Resolusi ASEAN.
            Antara Negara-negara ASEAN telah terdapat kesatuan sikap yang menanggapi kemelut Indocina yang pada intinya bertujuan untuk :
a.       Mencegah merembetnya (spill-over) konflik ke wilayah salah satu Negara ASEAN.
b.      Mengusahakan agar kekuatan besar tidak terlibat dalam kemelut tersebut yang dapat mengancam stabilitas kawasan.
c.       Menghindarkan masuknya konflik Sino-Soviet dalam ASEAN.
d.      Mempertahankan prinsip dasar penghormatan kedaulatan dan keutuhan wilayah Asia Tenggara dan menjadikan Asia Tenggara terdiri atas konsep ZOPFAN.
Seperti semenanjung korea yang berpotensi untuk dapat bergolak, hubungan india dan Pakistan yang masih diselimuti oleh saling curiga dan hubungan setigita Amerika Serikat-Jepang-RRC.
            Perjanjian damai Mesir-Israel yang didukung sepenuhnya oleh Amerika Serikat telah menimbulkan dua sikap/ kebijaksanaan dunia Arab yang berbeda. Pengaruh dari konflik Arab tersebut dirasakan di for a multilateral seperti gerakan Non-Alighment dan konprensi Islam.dalam hal konflik Iran-Amerika Serikat dan Resolusi dapat menjadi pertarungan antar Islam dengan Komunisme yang menyeret Negara tetangga seperti Pakistan dan Iran. Bahkan tidak mustahil menyebabkan tertiupnya lagi angina perang dingin antara Uni Soviet dengan Amerika Serikat. Uni Soviet telah memanfaatkan telah memanfaatkan kesempatan dari keenggangan  Amerika Serikat untuk melibatkan diri secara langsung dalam pergolakan-pergolakan yang condong bercorak konfrontatif dengan Uni Soviet, terutama sekali apabila peristiwanya terjadi di Negara-negara Dunia Ketiga. Mengingat kedudukan strategis Afganistan bagi Uni Soviet maritimnya untuk  memperkuat kehadirannya di Samudera Hindia dan Pasifik, maka Amerika Serikat, Jepang dan RRC dihadapkan dengan pilihan untuk mempererat kerjasamanya jika tidak ingin kekuatan militer Uni Soviet semakin diproyeksi untuk memperoleh keuntungan global.




 BAB III
PENUTUP
3.1.            Kesimpulan
Perwakilan Diplomatik memegang peran penting dalam menjalin hubungan bilateral dengan yang bersangkutan. Perwakilan Diplomatik ini dapat dibagi menjadi berbagai tingakatan seperti Ambassador atau duta berkuasa penuh yang dibantu Duta berkuasa Duta, Menteri Residen, Kuasa Usaha dan Atase- atase. Selain perwakilan secara diplomatic dan politis juga terdapat perwakilan yang tidak bersifat politis dan hanya mencakup bidang tertentu secara kedaerahan. Perwakilan Diplomatik ini mempunyai tujuan untuk melindungi para warga negaranya yang berada di Negara penerima. Perwakilan Diplomatik memiliki hak Imunitas yaitu hak yang menyangkut pribadi seorang diplomat dan hak ekstrateritorial yaitu hak atas bangunan dan perangkat diplomatic lainnya.

3.2.            Saran
Setelah penyelesaian pembuatan makalah ini, pemakalah menyadari di dalam pembuatan dan penulisan makalah ini tentulah masih banyak kekhilafan, kesalahan dan kekurangan kerana kita sebagaimana manusia tidak memiliki kesempurnaan. Untuk itu kepada teman-teman dan Dosen , kami dari pemakalah meminta maaf apabila terdapat kesalahan dalam pembuatan dan penulisan resensi ataupun kalimat . untuk itu kami dari pihak pemakalah meminta saran dan kritik dari dosen yang bersifat membangun untuk memperbaiki kami di kemudian hari. Demikian makalah ini  kami buat akhir kata kami ucapkan terima kasih.




[1] Sumarsono Suryokusumo, 2013, Hukum Diplomatik dan Konsuler Jilid I, tatanusa, Jakarta, hlm 8.
[2] ibid hal. 3
[3] Sumaryo Suryokusumo, Op Cit. hlm 53.
[4] Konvensi wina 1961, Pasal 22 (1).
[5] Ibid, Pasal 27 (1).
[6] Ellen Denza, Diplomatik Law, Commentary on the Vienna Conventions on Diplomatic Relatations,  Oceania Publications, Inc. Dobbs Ferry, New York,1976.
[7] Gore-Booth,D. pakenham, Satow Duite to Diplomatik Praktice, Fith Edition, Longnam Group Ltd. London, 1979, hal 3.
[8] Ibid
[9] Ian Brownlie, Princioles of public Internasional Law, Oxford University Press, Third Edition; 1979, hal 345.

[11] Ali Sastroamidjojo, Pengantar Hukum Internasional, Penerbit: Bhrata, Djakarta, 1971, hlm 165
[12] Klasifikasi Kepala Perwakilan versi Kongres Wina 1815.
[13] Sumarsono Suryokusumo, Op Cit hlm, 10
[14] Syahmin AK, HUkum Perjanjian Internasional : Menurut Konvensi Wina 1696 (Bandung; CCV. Armico, Edisi Pertama 1985), hlm., 1 et seq.
[15] Laporan Mahkamah Internasional (ICJ. Report, 1979, hlm., 19).
[16] United Nations Conference of Consular Relations, Official Document, 2 Vols. A/Conf.25/16 L. Dembinski, The Modern law of Diplomacy, (Nederlands: Martinus Nijhoff Publishers, 1988), hlm., 9.
[17] Sumarsono Suryokusumo, Op. Cit., hlm., 17.
[18] G. V. G Khrisnamurty, Op. CIt., hlm. 94
[19] United Nations, The Work of the International Law Commision (1970), hlm., 62-64.
[20] Mochtar Kusumaatmadja., Pengantar Hukum Internasional., Buku I-Bagian Umum. Binacipta, Bandung, 1982, hal 108.

[21] Sebuah buku yang berbahasa Indonesia, membahas tentang masalah ekstradisi dan jaminan perlindungan atas hak-hak azasi manusia; oleh  M. Budiarto, Ghalia-Indonesia, 1980.Dalam buku itu terlampir beberapa perjanjian bilateral tentang ekstradisi antara RI dan Malaysia dan lainnya.

[22]   Ricard A. Falk., On the Quasi Legislative Competence of the General Assembly.,
[23]                   Dokumen PBB (Majelis Umum) A CN. 4/16/1950.
Syahmin Ak, SH.MH., Hukum DIplomatik dalam rangka studi analisis, PT. RajaGrafindo, 2008, hlm., 27.
[25] Syahmin AK., Hukum Internasional Publik, Jilid I,(Bandung : PT Binacipta, Cetakan ke -5, Mei 2003), hlm., 117.
[26] Oppenheim-Lauterpacht, International Law, Vol.1, Longmans Green & company, 8, 1960, hlm 769-770
[27] Syahmin Ak, SH.MH., Hukum DIplomatik dalam rangka studi analisis, PT. RajaGrafindo, 2008, hlm., 61

[28] Syahmin Ak, SH.MH., Hukum DIplomatik dalam rangka studi analisis, PT. RajaGrafindo, 2008, hlm., 62-65


[29] Syahmin Ak, SH.MH., Hukum DIplomatik dalam rangka studi analisis, PT. RajaGrafindo, 2008, hlm., 65-78
[30] G.V. Glahn., Law among Nations., (an introduction to public international Law), 2nd, ed Mac Millan & Co. London 1970, hal. 385-386.
[31] ) Lihat Keppres No.45/1974, tentang Susunan Organisasi Departemen, 26 Agustus 1974, jo Keputusan Menlu RI. SK.582/BU/111/79/01/1979, tentang Susunan Organisasi Perwakilan-Perwakilan RI di Luar Negeri, 31 Maret 1979,
[32] Lihat Pasal 40 konvensi Wina 1961.
[33])  Pengantar Hukum Diplomatik, A. K. Syahmin Hal 55
[34] Ali Sastroamidjojo. Op.cit., hal 144

[36] Syahmin Ak, SH.MH., Hukum DIplomatik dalam rangka studi analisis, PT. RajaGrafindo, 2008, hlm., 93-94.

[37] Syahmin Ak, SH.MH., Hukum DIplomatik dalam rangka studi analisis, PT. RajaGrafindo, 2008, hlm., 58-59.

[38] Lihat Pasal 31 Konvensi Wina 1961
[39] British Journal Of Internasional Law (B.J.,I.L), hlm 547.
[40] Ibid Hal 555-556
[41] Pasal 37 Konvensi Wina 1963
[42] D.P. O.Conel. International Law, Vol II, Steven & Sons Ltd Ocean Publish. Inc London, 1965,hlm., 963;
[43] Undang-Undang No.1 Tahun 1982

Komentar